#3.9

Ini gila, Rei mengumpat dalam hati. Ada kebahagiaan yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Tinggal sejengkal, jika saja Rei mau menggapainya.

Tapi tidak, dan ini sungguh gila.  Rei berkelindan dengan dirinya, saat memutuskan menangguh prosesnya dengan Langit.

"Saya belum yakin, Langit. Saya minta semua ini di-pending dulu," sepatah kalimat itu ia kirimkan pada lelaki yang selama ini menumbuhkan yakin dalam hatinya. dalam hidupnya.

Yakin? Ah Rei, konstruk itu kini mengabur dalam kepalanya, menguap entah-kemana. Padahal Langitnya masih yang dulu. Langit yang penyayang. Langit yang bertanggungjawab. Langit yang pemberani. Langit yang berani melamarnya di tahun terakhir kuliah.

Tidak ada hal yang berubah dalam keyakinannya, padahal. Penuhnya masih seperti dulu. Tak ada surut sedikitpun bahwa lelaki ini yang akan jadi seseorang dalam dunia-akhiratnya. Hanya saja ada yang mengganjal di sudut tergelap hatinya. Bukan, bukan keraguan pada sosok Langit.

Tentang Tangguh? Ah-ya, Rei merasa bodoh sendiri saat menemu bahwa Tangguh-lah yang jadi ganjalan itu. Bodoh, sebab yang terjadi antara mereka, jauh lebih absurd dibanding hubungannya dengan Langit. Bodoh, sebab tanya Rei tak pernah menemu jawab. Semua akan sederhana jika saja Rei adalah seorang laki-laki, norma sosial lebih membuka ruang untuk bertanya, untuk meminta. Tapi perempuan? Rei cuma bisa menunggu berhari-hari, berbulan-bulan. Mencoba menerka apa yang lebih dari interaksi mereka. Belum lagi ucapan sana-sini yang mengafirmasi perasaannya, "Tangguh suka sama lo lagi, Rei, masa' lo ga tau sih?" Getir, semua orang nampaknya tahu pasti perasaan Tangguh kepadanya. Semua orang, kecuali dirinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Sudah dua pekan sejak lamaran Langit ia indahkan. Tentu, tak bisa berlama-lama, bagaimanapun Langit punya hak untuk bahagia. Punya hak untuk mendapat jawaban pasti darinya.

2 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Rei belum juga memberi jawaban. Langit masih menunggu.
Ada istikharah yang berkali-kali dilakukan. Allah.., Rei butuh ketenangan...

3 Juni 2009.

Pagi yang campur aduk. Untuk ketiga kalinya, siluet itu muncul dalam mimpinya. Tangguh.
Dan Rei masih belum (berani) menemukan jawab atas tanyanya.

4 Juni 2009.

Rei merutuki dirinya berhari-hari, kenapa begitu sulit untuk sekedar bertanya tentang kepastian? Padahal jelas ia dan Tangguh berbagi cerita setiap hari. Menyelipkan tanya di sela canda, apa susahnya?

5 Juni 2009.

Kita seperti dua garis rel,
bersama tapi tidak pernah bertemu
(Sitok S.)

Rei sudah sampai di titik akhirnya. Satu pesan terkirim,

"Asslm. Ka, menurut Kakak format undangan yang bagus itu seperti apa?"

terkirim: Kak Tangguh

Berbalas,

"Wal.wr.wb. Wahhhh, gw seneng nih kalo adik gw udah mulai ngomongin undangan."

Rei tercekat, tidakkah Tangguh membaca sms darinya berbunyi implisit,
"Ka, kalo gw nikah, perasaan lo gimana?"

Rei meneruskan pencariannya,

"Loh, kok seneng, Ka?"

terkirim: Kak Tangguh

Tak lama masuk,

"Iyalah.. masa' gw gak seneng. Kalo lo udah ngomongin undangan, berarti rencana nikah lo udah serius kan sama si Langit. Gimana gw gak seneng."

Tes... ada satu titik air yang turun. Rei mempercepat jalannya menuju halte, tempat ia biasa menunggu bus pulang kuliah. Tak ada satu intensi pun untuk membalas, Rei kira ia sudah sampai pada jawaban sampai tetiba,

Drrrrtttt.. Drrrrt....

Hpnya bergetar berkali-kali, nama "Kak Tangguh" muncul disana.

"Assalamu'alaykum, halo Kak?"

"Wa'alaykumussalam. Rei, tunggu dulu Rei!"

ada harap yang muncul, "Tunggu? tunggu apa, Kak?"

"Kamu lagi jalan kan,? berhenti dulu!. berhenti!"

"Ha? emang Kakak dimana?"

"Aku dibelakang kamu, Rei. Tadi ngelewatin Barel kan? Tunggu dulu! Tunggu!"

Rei mendadak berhenti. Ada yang tumbuh di hatinya: harapan. Mungkin pesan tadi bukanlah jawaban. Mungkin disini ia akan mendapat jawaban.

Satu sosok berlari menghampirinya, terengah-engah. "Ya ampun, Rei. Tadi aku lari-lari ngejar kamu dari Barel. Takut kamu keburu naik bus." 

"Masyaallah, Kakak.. Maafin doong.. Abisan saya gak tahu kalo Kakak manggil. Lagian hape dari tadi di dalem tas, jadi gak gitu kedengeran," ujar Rei tersenyum.

Tangguh mengatur napas, "Iya Rei, aku mau kasih tahu sesuatu."

Perut Rei serasa dipenuhi jutaan kupu-kupu, hampir seluruh dirinya berharap Tangguh akan memberi pernyataan yang selama ini ditunggunya. Pertanyaan yang akan mengafirmasi seluruh perasaannya.

"Ada apa, Kak memangnya?"

"Itu.. Tadi ada temen aku di Barel. Dia bawa banyak contoh format undangnya. Rei bisa lihat sekarang, kalau kamu mau."

Mata Rei perih seketika, sensasi jutaan kupu-kupu hilang entah-kemana.
"Oh, nggak Kak. Gak usah. Nanti saya cari aja percetakan undangan dekat rumah,"

Rei diam.
Tangguh diam.

"Maaf Kak, bus nya udah dateng. Saya duluan ya, Assalamu'alaykum..," bersicepat Rei menghentikan bus, lalu menaikinya. Terburu-buru.

Bus bergerak pergi.
Tangguh (masih) diam.


"Assalamu'alaykum," sapa suara di seberang sana.

Rei menyamankan duduknya, "Wa'alaykumussalam."

"Dimana?"

"Di dalam bus. Baru aja naik, ini mau jalan pulang."

"Hati-hati ya, Rei."

Rei tersenyum menengahi air matanya yang masih turun.

"Engg.. Langit?"

"Ya, Rei, kenapa?"

"Pekan depan bisa atur waktu untuk ketemu Ayah Ibu?"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





  






¡Compártelo!

2 komentar:

Puti

Rasa itu memang rumit ya Tam? :")

Jayaning Hartami

Buat Rei, mungkin Puut.. buatku mah enggak

*self-defense* :p

Posting Komentar

Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger