Ayo jadi Gadget Mother!

Gadget Mother, apa itu?
Apakah seorang Ibu yang punya smartphone keluaran terbaru? 
Apakah Ibu yang selalu membawa PC tablet kemana-mana? 
Apakah Ibu yang handphonenya dilengkapi dengan berbagai fitur nan lengkap dan aksesoris modern? 
Atau... Ibu yang selalu merevisi handphone nya tiap 3 bulan sekali? 


Anda pasti punye definisi tersendiri,
tapi bagi saya, Gadget Mother adalah Ibu yang mampu menguasai teknologi mobile miliknya. Bukan sebaliknya: dikuasai.


Sejujurnya, saya sering berkontemplasi, bagaimana ya rasanya jadi Ibu-Ibu di zaman dulu? Di saat teknologi belum secanggih sekarang. Di saat komunikasi (paling canggih), mungkin hanya sebatas berkirim surat, atau telepon. Juga masa ketika internet belum ada. Apalagi smartphone yang memungkinkan akses informasi 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Bagaimana ya rasanya?


Saya menjadi istri di usia 19 tahun. Menjadi Ibu di usia 20. Adakah pengalaman saya tentang berumah tangga? Untuk urusan istri, ya. Itu bisa saya dapatkan dari nasihat orangtua maupun orang sekitar. Tetapi jadi Ibu? Nol besar. Dimana ilmu dari berbagai buku parenting yang saya baca? Dimana teori-teori perkembangan yang saya pelajari di kuliah? Ketika anak sakit, tumbuh gigi, atau ruam popok, percayalah.. mereka tak banyak membantu.


Disanalah, teknologi mobile menjadi sahabat terbaik saya...


Menjadi Ibu adalah karir 24 jam penuh tanpa henti. Tidak ada cuti. Tidak ada jam kosong makan siang. Menjadi Ibu berarti merelakaan banyak waktu tidur di siang maupun malam. Menjadi Ibu adalah mandi secepat kilat, karena anak menangis saat ditinggal. Menjadi Ibu, adalah makan siang dengan kecepatan penuh sembari menatah anak bermain. Menjadi Ibu juga adalah mengangkat jemuran sembari menenteng buntalan 9kg yang ceria menarik-narik tiap baju yang ada di hadapannya.


Menjadi Ibu berarti, terampil melakukan banya pekerjaan dalam satu waktu


Buka laptop? Baru 10 menit buka, sudah ditarik-tarik kabelnya sama 'Aqila.
Menyalakan modem? Oh, anak saya SANGAT tertarik dengan kelap-kelip lampu modem. Dia selalu mengira bahwa modem adalah semacam snack makan siang.
Masih sempatkah berselancar di internet? Oke, sempat. Rekor terlama saya adalah 20-25 menit sehari.
Bagaimana dengan aktivitas blogging? Bisa! Asal dilakukan di atas jam 10 malam dan sebelum jam 7 pagi.


Padahal untuk saya, sebagai Ibu muda dan baru, akses informasi menjadi MUTLAK perlu! Melalui internet, saya bisa memeroleh banyak informasi tentang ibu dan anak. Saya bisa melalui tahapan baby blues saya dengan baik, karena internet memungkinkan saya bergabung di forum ibu-ibu untuk saling berbagi dan menguatkan. Saya berhasil memberi ASI eksklusif sembari kuliah juga dibantu oleh internet. Sebab dari sana saya mendapat info tentang cara penyimpanan ASI di freezer. Bahkan setelah lulus kuliah pun, internet membantu saya menyusun resep makanan pendamping ASI untuk 'Aqila saat usianya menginjak 6 bulan. Dan sebagai ibu rumah tangga, internet menjadi rekreasi tersendiri bagi saya, tanpa harus meninggalkan rumah dan anak.


Tapi, mengingat anak saya yang sudah mulai merangkak ke seluruh penjuru rumah, tentu tidak mudah bagi saya mengakses internet via laptop lagi. Smartphone lah menjadi salah satu solusinya.


Dengan smartphone, saya bisa melakukan browsing sembari mengikuti arah merangkak 'Aqila
Dengan smartphone, saya bisa mengobrol di forum tanpa harus melepaskan 'Aqila dari pengawasan
Dengan smartphone pula, saya bisa mengakses resep keluarga maupun makanan pendamping ASI bahkan sambil memasak di dapur!
Ah ya, smartphone juga memungkinkan saya menggendong 'Aqila sembari memasukkan tulisan di blog.
Dan 1 bulan yang lalu, smartphone juga yang membantu saya melalui masa menggigit 'Aqila saat giginya tumbuh untuk pertama kali.


Saya memang Ibu baru. Ibu muda. Sangat minim dalam segi pengalaman. Tapi saya punya kemauan besar untuk mencari tahu, bukankah selalu ada jalan di tiap kemauan? Bagi saya mungkin smartphone menjadi pilihan, tapi bukankah tanpa smartphone pun ada banyak jalan mengakses info saat ini? Melalui laptop, PC, ataupun handphone biasa, semua dapat dilakukan. Maka dalam pandangan saya, tidak ada alasan bagi Ibu di zaman ini untuk tidak bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.


Akan tetapi tentu, selalu ada pisau bermata dua di segala situasi. Kemudahan akses internet, social network, dan semacamnya tanpa disadari bisa membuat si Ibu "asyik sendiri". Ibu sibuk meng-update status di jejaring sosial, lalu mengabaikan hak anak atas waktu dan perhatian Ibunya.


Akibatnya? seringkali kita dengar anak mengeluh, "Ah, Mamah mah, fb-an melulu, Nih!
Lalu, ada dimana kita saat anak butuh teman curhat? butuh partner bermain?

Mudah-mudahan bukan saya. bukan Anda. bukan kita.


Maka jadilah gadget mother! Ibu yang bersemangat mencari informasi, tapi berhati-hati agat tak melenakan diri. Ibu. Ibu yang dapat mendayagunakan perangkat mobile di tangannya, tanpa adiksi terhadapnya. Ibu yang bijak dan cerdas dalam memilah kegiatan berinternet, sebab sadar akan tugas utamanya sebagai seorang Ibu. Ibu yang tahu teknologi tidak lain karena ingin selalu, selalu dan selalu memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.


Ayo jadi Gadget Mother!


Ibu yang dapat menguasai teknologi di genggamannya, tanpa meletakkannya di hati..

Tentang hasil skripsi saya...

Pasca ngerjain revisi, judul skripsi saya berubah jadi

Hubungan Komitmen Beragama dan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu Muslim Indonesia
(No SARA, ini karena partisipan saya 266 Ibu, agamanya Islam semua.. :)


Hasilnya?
Signifikan.

Ibu yang memiliki komitmen beragama yang tinggi cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula.

Kesimpulannya?
Yuk Ibu-Ibu, kita tingkatkan komitmen beragam kita! Supaya kesejahteraan psikologis meningkat. Karena Ibu dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan mampu menerima diri mereka secara positif, membina hubungan baik dengan orang lain, mampu menilai dirinya based on standar yang mereka tetapkan (ga terpaku sama penilaian orang), mampu membuat keselarasan dengan lingkungan sekitar, juga mampu menetapkan tujuan hidup.

Yang terpenting?
akan lebih bagus performa nya dalam mendidik anak-anak.


Semoga bermanfaat yaa hasil skripsi saya ini! :)
-Kembali meningkatkan tilawah dan muraja'ah yang sempat terabaikan. Hey Ramadhan, sungguh aku merindukanmu! -

Untuk Dey.

Ingatkah Dey, awal perkenalan kita dulu? saat pertama berjumpa di masjid UI, lalu kita melingkar penuh kehangatan. Lingkaran 2007 yang kelak diamanahi membumikan dakwah di psikologi. Ingat?

Lalu Dey, saat wawancara PSAF. Tanya mu buatku membeberkan rencana jangka panjang hidupku. Sederhana ya? tapi tahukah? kau adalah teman kampus pertama yang ku beritahu tentang itu.

Selasar dekat KanLam, masih membekas di ingatanmu? Ketika kau melintas, lalu kutarik untuk duduk di sampingku. Ku ceritakan tentang dia, yang bahkan diriku sendiri pun menolak untuk menceritakannya. Tapi denganmu, semua mengalir begitu saja. Aku masih ingat tepukan mu saat itu. Ah Dey, kau memang selalu mampu tenangkan hatiku.. entah kenapa.


Juga syuraa'-syuraa' pagi kita. jam berapa? enam? setengah tujuh? di lantai 2 MUI? Bersama kita sambut udara pagi yang melesap dalam paru-paru. Membakar semangat untuk kembali hidupkan pelita ummat. Untuk yang ini, mungkin bukan hanya kau, mereka juga sangat ku rindukan. Apa kita sebut mereka dulu, Dey? Keluarga. Ya.. keluarga kita..

Semua berjalan indah hingga ujian itu datang. Ujian lintasan hati. Aku dari masa lalu; sedang kau menemukannya baru. Tapi sejatinya mereka sama: berkelebat, menderu, mengeruhkan batin. Satu yang ku sesalkan saat itu, Dey.. kenapa kita tidak saling berpeluk melawannya? kenapa aku justru menjauh, dan kau sepertinya begitu. Atau waktu? Ah.. kesibukan pun jadi kusalahkan karena ia jauhkan aku darimu.

Dey yang selalu baik hati, sudahkah aku katakan bahwa aku menetes kala membaca blog mu tentang aku? tentang Mamah, si Cerdas, dan Ninul? Belum ya? baik ku katakan, aku menangis saat itu. Dedeyy, bahkan di saat aku sendiri tak percaya dengan diriku, dengan kerapuhan 'amalanku, tulisanmu bangkitkan jiwa bahwa hey, ada seseorang yang menyayangimu, Tami! Just don't give up!


Tahukah, Dey? sesungguhnya aku benci dipanggil "Jay". Sungguh benci. Tapi entah kenapa untukmu, itu tak berlaku. Maka ku mohon Dey, jangan pernah berhenti memanggilku dengan "Jayang". Aku cinta panggilan itu!

Dey, (insyaallah) saudariku di syurga.. kadang aku begitu iri. Iri dengan ketulusanmu. Iri dengan tatap mata yang selalu sungguh-sungguh mendengarkan itu. Iri dengan Ibu mu yang begitu luar biasa (sampaikan salamku padanya, ya.. semoga aku pada 'Aqila bisa sepertinya). Aku iri. sebab kau begitu baik, setidaknya di mataku begitu.

Dey, perempuan itu sekuat baja. tapi hatinya sungguh lembut. Maka wajarkanlah. Wajarkanlah apa yang berkebat-kebit di hatimu saat ini. Sebab jika kau lawan itu, maka kau tengah melawan sunnatullahmu.

Hey Dey yang sekuat baja, aku tak punya apa selain do'a yang selalu kuutas tiap harinya. Agar Allah terangkan qalb mu dengan hangatNya. Agar Allah dekap dirimu erat-erat. agar sembuh luka mu, Dey..


Dan tentang luka itu.. Percayalah.. ia seperti paku yang ditancap lalu dicerabut. Bekasnya akan terus ada. Tapi kita punya waktu, Dey.. ia akan mengurangi sakitnya. Dan kita punya Rabb bukan? Dengan segala keMaha-annya Ia kan hilangkan bekasnya. Bukankah kau percaya bahwa Ia selalu Maha Cinta?

Dey, jangan kau bosan dengan frase ku ini ya:
Aku mencintaimu karena Allah, Dey.. :')







Harusnya

Harusnya... saya yang masih berusia 20 tahun sekarang, tengah menikmati kegiatan ini itu.

Harusnya... saya yang (bahkan) belum masuk fase dewasa muda ini sedang seru-sibuknya bergabung dengan berbagai rupa kepanitiaan, atau masuk BEM UI.

Harusnya... saya punya kebebasan yang luas untuk pergi kemana saja: mengikut rihlah, berpetualang menjelajah, menyesapi ilmu di berbagai pertemuan kajian, atau -ah, sungguh saya rindu- memuarakan segala yang meletup di sepertiga malam mabit.

Harusnya... saya masih jadi mahasiswi kost-an yang cukup memikirkan diri sendiri.

Harusnya... saya bisa pergiiiiiii keluar masuk mall atau FO buat nyari baju atau gamis atau jilbab atau bergo tanpa perlu ada yang nyemberutin.

Harusnya... saya bisa online KAPANPUN saya mau. dimanapun. dengan situs apapun (kecuali yang bakal kena UU APP cencunya :p)


Harusnya... saya bisa bangun dan tidur (lagi-lagi) kapanpun saya sukaaaaa

Well yeah, seharusnya saat ini saya lagi hanging out somewhere sebagai reward atas rampungnya skripsi saya.

Eh, omong2 soal skripsi, kayaknya harusnya saya bisa deh lulus 3,5 tahun dan ga molor ke 4 tahun.

Terus, saya juga harusnya bisa jadi mapres psiko di semester 6 lalu.


yang terjadi adalah...


Saya yang belum lagi berusia 21 tahun ini harus bangun super pagi tiap hari untuk masak.

Saya harus tidur-bangun mengikuti jam biologis anak saya kalo ga mau tepar


Saya harus senantiasa dandan super-cepat setiap mau pergi mengingat suami saya adalah orang yang saaangat  penyabar tidak suka menunggu

Jalan-jalan? Haha, boong ding, lebih tepat disebut dengan bepergian keluar rumah "seperlu"nya.

Oh iya, saya juga mesti nenteng tas penuh popok, baby wipes, waslap, dan baju ganti. Hal itu mutlak bikin tas saya berisi barang-barang 'Aqila seorang! (saya cukup bawa dompet dan hape)

Apalagi? Oh ya, saya jadinya lulus di tahun keempat kuliah.

Mapres? kompetisinya saya tinggal. Kenal flek pas hamil, jadi kudu bedrest bertepatan dengan deadline pengumpulan karya tulis mapres.

Saya udah sidang looohh.. tapi ga ada ceritanya hura-hura selepas skripsi. reward saya cukup dengan kumpulan dorama Jepang di laptop. Itu pun hanya bisa ditonton pukul 10 malam ke atas. Atau lebih tepatnya, setelah 'Aqila tidur malam.




Harusnya...

Harusnya kan saya belum perlu mikirin anggaran rumah tangga.

Harusnya juga saya ga mesti hemat sana-sini tuh, dulu uang bulanan dari Ayah selalu lebih dari cukup.

Harusnya... Harusnya... Harusnya...




Tapi tahukah, Kawan?
Saya bahagia dengan hidup saya yang sekarang. Bahagia. Amat.


Dan itu cukup membayar segala "harusnya" yang terlewati. Cukup. Lebih dari cukup.


Hey, Syaithan, bisikan burukmu ga mempan tahu buatku! :)

Cincin Yang Retak

Bukan judul sinetrooon, sodara-sodara...
ini tentang cincin kawin saya. Retak? yak, betul. R-E-T-A-K. cincin yang dilekatkan sama Ummi sejak lamaran 2 tahun yang lalu, dinyatakan secara resmi retak hari ini.

Apa pasal? kepentok dinding waktu nahan kepala 'Aqila. ya iyalah yaa.. mending cincin daripada kepala anak gw yang retaaaak >.<


Jadi sodara-sodara, jangan kaget yaa kalo ntar ketemu saya sudah tidak bercincin lagi.. soalnya retak cukup parah.. kalo terus-terusan dipake bisa belah jadi dua..

Sedih ga? Iya! iya banget! soalnya kan itu legitimasi sosial kalo saya itu sudah bersuami, hihihi..

tapi ada satu yang cukup menghibur:
ternyata waktu liqo kemarin, saya perhatiin jemari para temen liqo saya. Dan merekaaa... tidak bercincin!
cukup menghibuur, mengingat temen-temen liqo saya itu usia pernikahannya minimal sudah 4 tahun.. bahkan ada yang baru milad pernikahan yang ke-17! hihihi..

ga mutu ih postingannya.. hehe, sekali-kali ah! berhibur kan tiada salahnya.

-di sela-sela menunggu si Abhiw pulang liqo' (sigh, kenapa ikhwan itu liqo'-nya malem sih? hehe)-

Is he the one?

Sejak saya menikah, pertanyaan yang paling sering orang-orang tanyakan pada saya (selain kalimat-tanya-seribu-ummat "Kapan hamil?" itu), adalaaaahhh... "Kenapa dia?"


Yap. dari milyaran kaum lelaki di muka bumi ini, kenapa saya pilih Dzaky? atau yang lebih krusial lagi, kenapa saya yakin bahwa Dzaky lah seseorang itu? Quite hard to answer, actually. Percayalah... sampai milidetik terakhir menuju pengucapan akad pun, saya masih bertanya-tanya, "Duhai Allah, inikah dia? darinya kah tulang rusuk itu Kau ambil?"


Saya kenal Dzaky sudah dari SMP. Berlanjut ke SMA yang sama. Walaupun beberapa kali kami ada di satu amanah, cukup sering interaksi, tapi tentunyaaaa... kehidupan suami-istri itu jaauuuhhh beda sekali dengan sekadar hubungan sekretaris umum-bendahara umum kan? 
Dan itu benar-benar terbukti. Pasca pernikahan, saya seperti say hello dengan orang yang benar-benar baru. 
Dzaky si Sekre Umum OSIS tentunya beda dengan Dzaky yang saya nikahi. 


Ada idiom yang bilang, pernikahan mengelupas segalanya. Untuk perkara orang? Ya. Menikah benar-benar mengelupasi pasangan kita hingga ke sifat 'kulit mati'nya. Mulai dari yang bikin kita seneng sampe kesel seubun-ubun :p


Ga kebayang yak? Gini-gini... Sebelum nikah, akan sangat mudah seekali kita simpatik atau (bahkan) sampai jatuh cinta dengan dia yang nampak macho nan berwibawa sebagai si Ketua Lembaga. atau dia yang (kelihatannya) selalu tunduk tawadhu' nenteng Qur'an kemana-mana. Juga dia yang nampak keren ngisi materi di dauroh. Yah, create your own definition of future-husband deh! He..he..
Lalu, apa yang terjadi setelah nikah? Pernah kebayang kalau si macho tadi ngupi di depan mata? Atau si tawadhu' ternyata punya kebiasaan ngorok super-keras? Sedang si keren makannya banyak? porsi kuli pula, pernah kebayang?


Ga kebayang? Saya tebak, Anda pasti belum nikah :p


Nah.. nah.. keliatan kan kontrasnya dari contoh barusan. Itu baru perihal kebiasaan. Gimana kalau ketika Anda sudah menikah (katakanlah dengan si keren-pengisi-dauroh itu), ternyata orangnya super ga sabaran? (ehhh, ini contoooh.. jangan mendelik ke suami saya gitu doong :p). Lalu ketika Anda telat semeeniit saja dari janji dijemput pulang liqo, Anda menemukannya dengan wajah tekuk seribu. Ga banyak bicara. Melajukan motor. Nganter pulang. Daaan.. sesampainya Anda di rumah, tiba-tiba aja dia ijin mau ke bengkel padahal tadinya ga ada agenda kaya' gitu di jadwalnya. Gimana? Pernah kebayang?


Pernikahan saya dan Dzaky baru masuk tahun kedua. Tapi saya belajar baaaaaaaanyaaaaaakkk banget. bukan sekedar baaaaaaanyaaaaaaaaakkk, tapi buaaaaanyaaakkkk (Kalo kata Ka Cici mesti pake 'U' biar keliatan buaanyak-nya, hekekeke..). Somehow, pernikahan ini memang kaya' jadi perkenalan baru banget buat saya tentang Dzaky, dan saya pun yakin, begitupula yang dirasakan Dzaky mengetahui istrinya yang paling males beres beres rumah.


Di titik itu, saya jadi merenung.. Wah, kalo kaya' gini, memang sampai kapanpun saya ga bisa mendeklarasikan bahwa 'dia lah orangnya', terlebih sampe frase 'dia-lah yang Allah ridha'i untuk saya'. Jawaban itu cuma Allah yang pegang. Seperti yang Allah sampaikan: "Masuklah kalian ke dalam syurga beserta istri-istri dan keturunan kalian yang beriman".  Sebelum sampai ke kehidupan kekal itu, bener kan sampai kapanpun kita ga akan tau? 


Lalu gimana saat dihadapkan dengan beberapa pilihan jodoh? (Cieee... laku beneeer...)
Buat saya, pilihlah yang paling membuatmu tentram dengan keputusan itu. Ketika sudah mendekatkan diri denganNya, sedekat-dekatnya. Ucaplah Bismillaah, lalu pilih yang paling membuatmu tentram. 
Selebihnya? Itu ikhtiyar
Ikhtiyar penuh-sungguh untuk membuat rumah tangga jadi sakinah, waddah, nan rahmah. 


Di tengah jalan nanti, akan sangat mungkin kau temukan buanyak perbedaan. Ada yang kau sukai; banyak pula yang kau murkai. Bahkan mungkin saya syaithan membawamu sampai pada prasangka: "Mungkin kalo gue ga nikah sama dia, ga akan kaya' gini jadinya"
Tapi tetaplah berjalan. tetaplah bergandengan dengannya. Tetaplah berdekatan. Tetap ikhtiyarkan.  Senantiasa lah ingat: Ketika sudah melibatkan Allah dalam pengambilan keputusan, maka kesulitan bukanlah pertanda salah mengambil jalan! (kata-kata keren ini saya ambil dari Noi, sahabat seperjuangan sesama Ibu beranak satu di UI angkatan 2007)


Allah sembunyikan takdir, agar kita berusaha bukan? Itulah.. mungkin di sana pula ada hikmah, tentang kenapa kita ga akan pernah tahu apakah yang sekarang berjalan disisi adalah pendamping di syurga abadi. Supaya kita terus berusaha dan mensyukuri segala yang ada. Hingga nanti, ketika cinta berakhir di saat tak ada akhir.. 




Hey A'a, terimakasih untuk perjalanan 2 tahun ini:
“It’s not always rainbows and butterflies, it’s compromise that moves us along…” 
(Maroon 5)
Tolong bawa aku dan anak-anak ke syurga ya? :')



Just Believe.

Dulu.. duluuuu banget. waktu seragam saya masih putih dan merah, saya kepingin banget bisa masuk SMPN 30.
Ternyata, disanalah saya 6 tahun kemudian.

Dulu.. setelah ngerasain belajar di SMPN 30, saya bener-bener pengen bisa masuk SMAN 13. Bahkan mimpi itu masih saya ucap diam-diam walaupun nilai raport jungkir balik ga keruan di kelas 2 (salahkan modern dance! hikiki..). Hasilnya? NEM saya nangkring di urutan ke-6 pendaftaran siswa baru di tahun itu :)

believe it or not, sejak duduk di kelas X SMA, saya udah bercita-cita ga mau SPMB. Kuliah? BSI aja lewat PMDK dong! huahahaha.. sombong bener cyiiiin.. tapi begitulah.. Padahal saya bener-bener nol besar pengetahuan tentang PMDK-things, but I just believe, suatu hari gue bakal masukin UI dengan jalur itu. Dan sungguh, disaat temen2 kelas XII saya pada riweuh belajar beraneka spesies soal SPMB, saya cuek. yap. CUEK. (udah yakin pisan gitu, bakal dapet PMDK, wkwkwkw..)

'Ala kuli hal.. Allah Yang Maha Baik lagi-lagi kabulkan pinta saya. PMDK saya dapatkan. saya masuk Psikologi UI tanpa tes, dimana saat teman-teman lagi keblinger bulet buletin jawaban SPMB, saya lagi ngantri ngepas ukuran jaket kuning :p

Huiks, kebanyakan nyombongnya ya kayaknya? hehehe.. sebenernya bukan itu niat saya nge-post ini. Saya lagi mau cerita kalo akhirnyaaaa... Rabu sore, 8 Juni 2011 yang lalu, penguji skripsi saya mengumumkan dengan senyummmm: "Selamat Tami, kamu lulus sidang sarjana psikologi!" Ah, manis... semanis maduu...

Terharu luar biasa, karna 5 bulan sebelumnya I have no idea gimana caranya saya bisa menyelesaikan skripsi dalam keadaan full jaga 'Aqila, dan Dzaky kembali masuk kuliah. Sempeeeet banget kepikir buat cuti semester ini (dan ga kepikiran juga gimana ngerjain skripsi semester depannya). Disorientasi aaabiiisss... tapi lucunya saya tetep ngulang2 do'a ini ke Allah: "Allah, Tami mau lulus semester ini, Ya Allah.. Tolong ya Allah.." daaaann... Qadarullah, saya diajakin masuk ke skripsi payung-nya Mbak Dini, dimana saya ga perlu ambil data lagi. Ah, terharu banget lah kalo inget masa-masa pengerjaan skripsi kemarin.. kalo bahasa Ar-Rahman, ini namanya Fabbi ayyi 'alaai Rabbikuma tukadzibaan? Nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Ga ada ya Allah. Ga ada! :')

Hikmahnya apa? Semua berangkat dari satu hal : Believe
Cukup percaya. Percaya bahwa saya mampu. Percaya bahwa Allah Maha Tahu. Percaya bahwa semuaaaaa sudah ada hitung-hitungan dalam rumus matematikaNya. Percaya bahwa jika kita percaya, maka semesta pun membantu kita mencapainya. Percaya bahwa Allah itu (kalo bahasanya Dey), Mahaaaa Cinta! Ah Ia memang selaluuuu Maha Cinta! :))

Ah Allah, lumpuh aku karena rindu.. :')

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger