Sudah 5 bulan sebelum hari SPMB tiba.
4 bulan sebelum Ujian Nasional dimulai.
3 bulan sebelum hari-hari dipenuhi dengan berbagai tryout dan simulasi tes.
2 bulan. Sudah 2 bulan setelah terakhir kali Rei berbincang langsung dengan Langit.
Februari akhir 2007.
Siang itu amat terik. Bel istirahat yang berbunyi bahkan tidak mampu memancarkan kebahagiaan di wajah para murid, terlebih murid-murid kelas XII. Ya, bagaimana bisa bahagia kalau tiap hari mereka dibekali PR bertumpuk? Belum lagi penambahan materi tiap pulang sekolah, juga bimbingan belajar bagi sebagian mereka yang mampu.
Rei memasuki ruang OSIS.
"Kak Rei, disini!" panggil salah seorang adik kelas, di sebelahnya berjajar BPH inti OSIS yang baru.
Rei tersenyum, duduk mendekat. "Oke, langsung aja ya? Ini berkas keuangan OSIS tahun saya. Semua udah lengkap, insyaallah gak ada yang salah hitung. Pokoknya tinggal ikutin aja alurnya ya." ia mendorong sebuku besar ke tengah meja.
"Iya Kak, makasih ya.." Mereka kemudian berbincang sebentar sampai akhirnya Rei pamit pergi. Baru saja Rei berbalik menuju pintu, telinganya menangkap satu suara yang familiar.
"Dit, gw cariin dari tadi juga. Buruan, syuro' rohis di mushola ikhwan. Udah ditungguin tuh," Langit masuk ke dalam, mendekati orang yang bernama Adit itu.
Adit menanggapi, "Oh iya, afwan Ngit. Tadi ane ngetik surat perizinan dulu, biar dikasih sekalian pas syuro." kemudian ia keluar mendahului Langit.
Rei masih diam. Kakinya terasa berat sedari tadi. Seperti ada paku yang dipasang erat di sekujur alas kakinya. Ia tahu, harusnya ia keluar ruang OSIS dari tadi. Harusnya ia keluar saja sejak awal Langit masuk ke dalam. Harusnya ia tidak perlu berdiam menunggu Langit menyelesaikan urusannya. Harusnya ia menunduk, tak perlu menatap Langit yang sekarang berdiri di hadapannya. Harusnya matanya tidak terasa perih sekarang. Harusnya... Harusnya...
Langit masih diam, saat Rei bergegas pergi melewatinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Rei, Rei kenapa?" tanya Una lembut ketika tiba-tiba sahabatnya ini menghampirinya dengan mata kaca.
Rei masih terisak, mendekap Una lebih kuat, "Aku gak kuat, Una.. Aku gak kuat.. Padahal tadi kami cuma papasan nggak sengaja.. Tapi aku nggak kuat.."
Una menghela napas, "Langit ya?"
Rei mengangguk. Diam-diam ia membenci dirinya, sudah dua bulan sejak nama itu tidak lagi disebut dalam hidupnya. Terlebih dengan Una. Rei malu, urusan hatinya belum selesai juga.
"Rei.. nangis aja ya, sampai puas," Una mencoba memberi saran. "Tapi setelah ini, semua selesai."
Rei makin terisak. Bulir-bulirnya pecah tak beraturan. Ya, semua (harusnya) sudah selesai.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Roar
1 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)