#3.9

Ini gila, Rei mengumpat dalam hati. Ada kebahagiaan yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Tinggal sejengkal, jika saja Rei mau menggapainya.

Tapi tidak, dan ini sungguh gila.  Rei berkelindan dengan dirinya, saat memutuskan menangguh prosesnya dengan Langit.

"Saya belum yakin, Langit. Saya minta semua ini di-pending dulu," sepatah kalimat itu ia kirimkan pada lelaki yang selama ini menumbuhkan yakin dalam hatinya. dalam hidupnya.

Yakin? Ah Rei, konstruk itu kini mengabur dalam kepalanya, menguap entah-kemana. Padahal Langitnya masih yang dulu. Langit yang penyayang. Langit yang bertanggungjawab. Langit yang pemberani. Langit yang berani melamarnya di tahun terakhir kuliah.

Tidak ada hal yang berubah dalam keyakinannya, padahal. Penuhnya masih seperti dulu. Tak ada surut sedikitpun bahwa lelaki ini yang akan jadi seseorang dalam dunia-akhiratnya. Hanya saja ada yang mengganjal di sudut tergelap hatinya. Bukan, bukan keraguan pada sosok Langit.

Tentang Tangguh? Ah-ya, Rei merasa bodoh sendiri saat menemu bahwa Tangguh-lah yang jadi ganjalan itu. Bodoh, sebab yang terjadi antara mereka, jauh lebih absurd dibanding hubungannya dengan Langit. Bodoh, sebab tanya Rei tak pernah menemu jawab. Semua akan sederhana jika saja Rei adalah seorang laki-laki, norma sosial lebih membuka ruang untuk bertanya, untuk meminta. Tapi perempuan? Rei cuma bisa menunggu berhari-hari, berbulan-bulan. Mencoba menerka apa yang lebih dari interaksi mereka. Belum lagi ucapan sana-sini yang mengafirmasi perasaannya, "Tangguh suka sama lo lagi, Rei, masa' lo ga tau sih?" Getir, semua orang nampaknya tahu pasti perasaan Tangguh kepadanya. Semua orang, kecuali dirinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Sudah dua pekan sejak lamaran Langit ia indahkan. Tentu, tak bisa berlama-lama, bagaimanapun Langit punya hak untuk bahagia. Punya hak untuk mendapat jawaban pasti darinya.

2 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Rei belum juga memberi jawaban. Langit masih menunggu.
Ada istikharah yang berkali-kali dilakukan. Allah.., Rei butuh ketenangan...

3 Juni 2009.

Pagi yang campur aduk. Untuk ketiga kalinya, siluet itu muncul dalam mimpinya. Tangguh.
Dan Rei masih belum (berani) menemukan jawab atas tanyanya.

4 Juni 2009.

Rei merutuki dirinya berhari-hari, kenapa begitu sulit untuk sekedar bertanya tentang kepastian? Padahal jelas ia dan Tangguh berbagi cerita setiap hari. Menyelipkan tanya di sela canda, apa susahnya?

5 Juni 2009.

Kita seperti dua garis rel,
bersama tapi tidak pernah bertemu
(Sitok S.)

Rei sudah sampai di titik akhirnya. Satu pesan terkirim,

"Asslm. Ka, menurut Kakak format undangan yang bagus itu seperti apa?"

terkirim: Kak Tangguh

Berbalas,

"Wal.wr.wb. Wahhhh, gw seneng nih kalo adik gw udah mulai ngomongin undangan."

Rei tercekat, tidakkah Tangguh membaca sms darinya berbunyi implisit,
"Ka, kalo gw nikah, perasaan lo gimana?"

Rei meneruskan pencariannya,

"Loh, kok seneng, Ka?"

terkirim: Kak Tangguh

Tak lama masuk,

"Iyalah.. masa' gw gak seneng. Kalo lo udah ngomongin undangan, berarti rencana nikah lo udah serius kan sama si Langit. Gimana gw gak seneng."

Tes... ada satu titik air yang turun. Rei mempercepat jalannya menuju halte, tempat ia biasa menunggu bus pulang kuliah. Tak ada satu intensi pun untuk membalas, Rei kira ia sudah sampai pada jawaban sampai tetiba,

Drrrrtttt.. Drrrrt....

Hpnya bergetar berkali-kali, nama "Kak Tangguh" muncul disana.

"Assalamu'alaykum, halo Kak?"

"Wa'alaykumussalam. Rei, tunggu dulu Rei!"

ada harap yang muncul, "Tunggu? tunggu apa, Kak?"

"Kamu lagi jalan kan,? berhenti dulu!. berhenti!"

"Ha? emang Kakak dimana?"

"Aku dibelakang kamu, Rei. Tadi ngelewatin Barel kan? Tunggu dulu! Tunggu!"

Rei mendadak berhenti. Ada yang tumbuh di hatinya: harapan. Mungkin pesan tadi bukanlah jawaban. Mungkin disini ia akan mendapat jawaban.

Satu sosok berlari menghampirinya, terengah-engah. "Ya ampun, Rei. Tadi aku lari-lari ngejar kamu dari Barel. Takut kamu keburu naik bus." 

"Masyaallah, Kakak.. Maafin doong.. Abisan saya gak tahu kalo Kakak manggil. Lagian hape dari tadi di dalem tas, jadi gak gitu kedengeran," ujar Rei tersenyum.

Tangguh mengatur napas, "Iya Rei, aku mau kasih tahu sesuatu."

Perut Rei serasa dipenuhi jutaan kupu-kupu, hampir seluruh dirinya berharap Tangguh akan memberi pernyataan yang selama ini ditunggunya. Pertanyaan yang akan mengafirmasi seluruh perasaannya.

"Ada apa, Kak memangnya?"

"Itu.. Tadi ada temen aku di Barel. Dia bawa banyak contoh format undangnya. Rei bisa lihat sekarang, kalau kamu mau."

Mata Rei perih seketika, sensasi jutaan kupu-kupu hilang entah-kemana.
"Oh, nggak Kak. Gak usah. Nanti saya cari aja percetakan undangan dekat rumah,"

Rei diam.
Tangguh diam.

"Maaf Kak, bus nya udah dateng. Saya duluan ya, Assalamu'alaykum..," bersicepat Rei menghentikan bus, lalu menaikinya. Terburu-buru.

Bus bergerak pergi.
Tangguh (masih) diam.


"Assalamu'alaykum," sapa suara di seberang sana.

Rei menyamankan duduknya, "Wa'alaykumussalam."

"Dimana?"

"Di dalam bus. Baru aja naik, ini mau jalan pulang."

"Hati-hati ya, Rei."

Rei tersenyum menengahi air matanya yang masih turun.

"Engg.. Langit?"

"Ya, Rei, kenapa?"

"Pekan depan bisa atur waktu untuk ketemu Ayah Ibu?"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





  






#3.63

And I will take, you in my arms
And hold you right where you belong
'Till the day my life is through, this I promise you
This I promise you..

Celah Langit

Langit tidak pernah benar-benar tahu, kenapa ia begitu mencintai gadis ini. Melihatnya selalu membuatnya gila. Berinteraksi adalah candu. Langit cuma tahu indranya hilang sekejap tiap gadis ini bersamanya. Penglihatannya kabur, pendengarannya melemah. Semua hal di sekitarnya memuai, dan tiba-tiba hanya ada gadis ini di dunia. Tidak kurang, tidak lebih.

Seperti gaya gravitasi yang menarik semua benda untuk berpijak ke bumi. Gadis ini adalah pusatnya. Buat ia, Langit akan berubah seperti apa yang dibutuhkan. Menjadi pelindung, menjadi kakak, menjadi teman, menjadi sahabat. Bersamanya, Langit merasa bisa rapi menata hidupnya. Menyusun rencana masa depannya. Vice versa, ketika hilang harapan tentangnya, Langit sesak seakan ada fase malam yang tak kunjung selesai. Seakan mataharinya esok terbit dari barat. Sungguh perasaan yang menyiksa.

Kenapa Rei? Langit tak pernah benar-benar tahu. Berinteraksi saja jarang. Rei dan Langit berada di lingkungan sosial yang berbeda. Rei yang ekstrovert, dunianya berputar ke seluruh penjuru. Siapa yang tidak kenal Rei? Rei yang juara kelas, Rei yang menang lomba debat, Rei yang ketua teater, Rei yang banyak senyum, Rei yang disayangi banyak orang. Langit yang introvert, lebih banyak berdiam di zona nyamannya. Walau tetap, siapa yang tidak kenal Langit? Langit yang ketua kelas, Langit yang calon ketua OSIS, Langit yang berani memprotes kepala sekolah.

Ia dan gadis itu bahkan tidak pernah berinteraksi kecuali saat belajar di kelas.

Tapi seperti itulah kerja misterius bernama takdir.
Langit cuma tahu pijakannya tiba-tiba runtuh di hari pertama gadis itu memakai jilbab. Rei yang selama ini tak masuk dalam dunianya, mendadak menjadi hujan. menjadi mentari. menjadi pelangi.

"Kamu tuh ngaco, Langit.. Masa nentuin calon istri cuma dalam 3 hari!" begitu Rei kerap memarahinya, tiap Langit menanyai urusan delapan-tahun-lagi itu.

Langit cuma bisa tertawa. Mau berargumen apa? Ia juga tidak tahu iblis mana yang membisiki hatinya untuk 'melamar' gadis itu di hari ketiganya memakai jilbab. Langit cuma tahu, ada satu wajah yang kerap muncul di pelupuk matanya. Ada satu nada suara yang menjadi akrab bagi telinganya. Ada satu rasa takut kehilangan yang bertambah tiap kali melihatnya.

Gadis itu. Rei, namanya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 




 

#3.62

Sudah 5 bulan sebelum hari SPMB tiba.
4 bulan sebelum Ujian Nasional dimulai.
3 bulan sebelum hari-hari dipenuhi dengan berbagai tryout dan simulasi tes.
2 bulan. Sudah 2 bulan setelah terakhir kali Rei berbincang langsung dengan Langit.

Februari akhir 2007.

Siang itu amat terik. Bel istirahat yang berbunyi bahkan tidak mampu memancarkan kebahagiaan di wajah para murid, terlebih murid-murid kelas XII. Ya, bagaimana bisa bahagia kalau tiap hari mereka dibekali PR bertumpuk? Belum lagi penambahan materi tiap pulang sekolah, juga bimbingan belajar bagi sebagian mereka yang mampu.

Rei memasuki ruang OSIS.

"Kak Rei, disini!" panggil salah seorang adik kelas, di sebelahnya berjajar BPH inti OSIS yang baru.

Rei tersenyum, duduk mendekat. "Oke, langsung aja ya? Ini berkas keuangan OSIS tahun saya. Semua udah lengkap, insyaallah gak ada yang salah hitung. Pokoknya tinggal ikutin aja alurnya ya." ia mendorong sebuku besar ke tengah meja.

"Iya Kak, makasih ya.." Mereka kemudian berbincang sebentar sampai akhirnya Rei pamit pergi. Baru saja Rei berbalik menuju pintu, telinganya menangkap satu suara yang familiar.

"Dit, gw cariin dari tadi juga. Buruan, syuro' rohis di mushola ikhwan. Udah ditungguin tuh," Langit masuk ke dalam, mendekati orang yang bernama Adit itu.

Adit menanggapi, "Oh iya, afwan Ngit. Tadi ane ngetik surat perizinan dulu, biar dikasih sekalian pas syuro." kemudian ia keluar mendahului Langit. 

Rei masih diam. Kakinya terasa berat sedari tadi. Seperti ada paku yang dipasang erat di sekujur alas kakinya. Ia tahu, harusnya ia keluar ruang OSIS dari tadi. Harusnya ia keluar saja sejak awal Langit masuk ke dalam. Harusnya ia tidak perlu berdiam menunggu Langit menyelesaikan urusannya. Harusnya ia menunduk, tak perlu menatap Langit yang sekarang berdiri di hadapannya. Harusnya matanya tidak terasa perih sekarang. Harusnya... Harusnya...

Langit masih diam, saat Rei bergegas pergi melewatinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Rei, Rei kenapa?" tanya Una lembut ketika tiba-tiba sahabatnya ini menghampirinya dengan mata kaca.

Rei masih terisak, mendekap Una lebih kuat, "Aku gak kuat, Una.. Aku gak kuat.. Padahal tadi kami cuma papasan nggak sengaja.. Tapi aku nggak kuat.."

Una menghela napas, "Langit ya?"

Rei mengangguk. Diam-diam ia membenci dirinya, sudah dua bulan sejak nama itu tidak lagi disebut dalam hidupnya. Terlebih dengan Una. Rei malu, urusan hatinya belum selesai juga.

"Rei.. nangis aja ya, sampai puas," Una mencoba memberi saran. "Tapi setelah ini, semua selesai."

Rei makin terisak. Bulir-bulirnya pecah tak beraturan. Ya, semua (harusnya) sudah selesai.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

#3.61

Siang yang ramai. Lapangan dipenuhi murid-murid yang berebut ingin pulang lebih dulu. Walaupun sebagian dari mereka nampaknya senang berlama-lama di sekolah, mengikut iekskul, mengurus kepanitiaan, pengajian, ini-lah, itu-lah.

Salah satunya Rei.

"Nyariin siapa, Rei?" Una tiba-tiba muncul, mengagetkan.

Rei, matanya masih mencari-cari, "Nggak, Un.. Gak nyari siapa-siapa kok.."

"Lah itu mata kamu kemana-mana dari tadi. Emang aku gak perhatiin?"

"Engg... itu Un.. cari..."

"Hahahaha.. Gw tau! Lo nyari Langit, ya Rei?" tetiba Una terbahak disebelahnya.

Rei memicing, "Nggaaaakk!! Gw gak nyariin dia, Unaa!!"

"Lah jadi nyariin siapa?"

"Ihhh, Una..," Rei memelankan suaranya, "Gw kan cuma penasaran, kenapa dia gak ke kelas gw pagi ini.."

"Hhahaha.. Reiiii.. Kamu udah mulai nyariin Langit ya sekarang. Huahahahaha," Una tidak bisa menahan tawanya.

Wajah Rei memerah, diam-diam bertanya pada hatinya, "Iya ya.. Ngapain juga pake nyariin Langit segala.."

Rei tidak sadar, beberapa meter dari mereka ada sepasang mata yang memperhatikan. Mata yang sedari tadi tersenyum melihat wajah cemasnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Agustus 2006.

"Ini serius ya, Rei. Aku mau masuk FKUI selepas lulus nanti. Kuliah kan 4 tahun, ditambah ambil spesialis 2 tahun. Kalo ditambah sama 2 tahun SMA kita, jadi pas 8 tahun kan..," 

Langit dan Rei, keduanya sedang berada di salah satu perhelatan besar OSIS. Acaranya di Tugu Proklamasi, sedari tadi keduanya sibuk patroli sana-sini. Menjadi pengawas karena BPH (Badan Pengurus Harian) inti. Dan seperti biasa, Langit membuntuti Rei kemana-mana.

"Ya ya ya ya, masuk aja ke FKUI, Ngit.." Rei menjawab sekedarnya sambil sibuk membuat catatan.

Langit menatap gadis itu lurus, "Rei, saya serius."

Rei menghentikan kegiatan mencatatnya, walau tetap matanya menunduk.

"Rei, kamu nggak anggep semua ini serius ya?" Nada Langit meninggi.

"Kamu kira saya main-main, minta kamu jadi istri saya 8 tahun lagi?" 

"Rei!" Langit sedikit membentak. Gadis di depannya mulai bergetar.

"Saya harus anggap kamu seserius apa, Langit?" Rei memulai jawabannya, "Kita masih SMA. Lulus PTN aja belum tentu. Bahkan lulus SMA aja belum pasti. Kamu selalu bilang 8 tahun-8 tahun, kalau memang 8 tahun lagi, kenapa harus sekarang? Kamu bahkan masih punya 7 tahun buat ketemu yang lain.."

"Nggak. Saya nggak bisa nunggu, Rei."
Langit pergi, Rei cuma tertegun mencoba mencerna semuanya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Desember 2006.

“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya" (dalam cerpen Linguae, Linguae, Gramedia, 2007)” 


"Kuliah nanti, kamu mau ambil apa?" tanya Langit kepada Rei, saat keduanya (kebetulan) dapat jadwal piket OSIS bersamaan.

"Psikologi," jawab Rei pendek.

"UI ya, Rei?"

"Emmm.. tergantung, kamu maunya FK UI kan ya?"

"Iya."

"Kalo gitu saya mau ke UGM aja deh, ha ha ha.."

"Yahhhh.. kok UGM sih, " ada nada kecewa.

"Iya, biar jauh dari kamu! Weeee..," Rei membunyikan tawa khasnya. Langit tersenyum, sungguh gadis ini membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

Langit dan Rei, sudah sebulan ini keduanya terjebak dalam hubungan aneh. Ada pernyataan memang, tapi Rei tidak pernah memberi jawaban. Semua menjadi absurd seiring dengan kekakuan yang mencair diantara mereka. Rei sudah jarang lagi marah, sedang Langit makin sering datang ke kelasnya. Tidak pernah jalan berdua memang, tetapi melihat kedua makhluk ini berinteraksi, siapapun bisa menebak ada sesuatu yang lebih. Meski itu tak pernah terdefinisikan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Januari 2007. 

"Kamu punya pikiran sama denganku?" Lelaki itu berucap patah-patah. Seolah kalimat itu bukan miliknya.

Gadis di seberang sana terisak. Pelan, "I-ya.. aku juga.. sudah lama sebenarnya, tapi.."

"Aku yang salah, harusnya nggak aku mulai semua ini..," suara Lelaki itu ikut bergetar. Entah kenapa tentang gadis ini, ia selalu rapuh.

"Kita salah.. Ya Allah, Langit.. harusnya aku ga nanggepin semua ini..," tidak tahan lagi, tangis Rei pecah.

Langit makin teriris, "Nggak Rei, aku yang salah. Kamu benar, harusnya aku nggak perlu memulai ini dari awal, harusnya..," Langit tercekat, sekelibat memori muncul di kepalanya. Saat sahabat-sahabat terbaik mengingatkan, interaksi Rei dan Langit mulai kelewat batas. Mereka adalah salah satu aset terbaik rohis. Melakukan hal buruk, berarti memberi contoh dan kelegalan yang buruk pula.

"Bisa kita selesaikan semuanya, Rei?" 

masih terisak.

"Rei? Ya-ampun, jangan nangis Rei, saya gak kuat dengernya.."

"Memang harus selesai.. Langit, semuanya harus selesai.." Rei menjawab patah-patah.

"Rei, saya minta maaf.."

"Ya..."

"Kalau begitu, kita sudahi semua..," Langit merasakan sesak naik ke dadanya. "Terimakasih, Rei.. saya minta maaf.."

Klik! Telpon terputus, meninggalkan Rei yang masih terisak.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





#3.6

"Langit, nih rincian anggaran dana OSIS buat LPJ tengah tahun, " Rei menyerahkan sebundel dokumen ke depan seorang lelaki yang tengah serius dengan komputernya.

Langit menengadah, "Eh, ada calon istri! Makasih ya... Gitu dong, istri kan kerjanya harus cepet," ujarnya dengan mata jenaka.

Kawan-kawan seruangan OSIS tertawa bersamaan.

"Grrrr.. Calon istri-calon istri, apa-apaan ih! Ga usah ngaku-ngaku deh!" Rei memandang dongkol lelaki dihadapannya yang masih cengangas-cengenges. Oh-ya-ampun, permainan "calon istri-calon suami" itu sungguh menyebalkan baginya. Lagian, buat apa sih Langit meledeknya di ruangan OSIS? Belum cukup sindiran kakak-kakak rohis kemarin siang? Belum cukup ledekan adik-adik mentor untuk mereka berdua? Hah? Hah?!

Mengkal, Rei berjalan keluar. Di belakangnya masih terdengar tawa-tawa geli tak beraturan milik teman-teman OSISnya.

"Rei! Hoi, Rei! Tunggu dulu!" 

Rei berhenti, membalik badannya dengan malas, "Apalagi, Langit? Lo itu ya, nyebelin banget sih?!"

"Aku cuma mau tanya masalah kemarin..," Langit membuka percakapan.

"Masalah yang mana lagi, sih?" tanya Rei kesal. Ujung matanya menangkap beberapa teman yang melintas, sedang memperhatikan mereka. "Buruan deh mau ngomong apa. Ga enak dilihat sama yang lain."

"Pertanyaan saya kemarin Rei, jadi calon istri saya ya?"

"Haduh, Langit.. kita aja sekarang baru kelas 2 SMA. Kamu minta saya jadi istri 8 tahun lagi ya kan? Ya udahhhh.. nanti-nanti aja deh ditanya lagi saya nya.."

"Tapi saya serius, Rei.."

"Gw juga, Ngit.. Gw serius. 8 tahun itu masih lama. Bahkan gw sendiri ga kebayang bakal kayak apa 8 tahun ke depan. Kenapa harus sekarang sih ngelamarnya?" Rei berjengit sendiri mendengar kata "lamaran" keluar dari mulutnya.

Langit melipat kedua tangannya, "Abis gimana ya, Rei. Kamu itu udah saya masukin ke planning hidup saya. Kalo kamu ga mau, berantakan dong rencana masa depan saya."

"Itu urusan kamu! Udah ah, gw mau masuk kelas dulu," Rei berbalik lantas berlari kecil menuju kelasnya. Sayup-sayup telinganya mendengar sesuatu, kalimat sapa yang sudah dua hari belakangan ini selalu diucapkan Langit tiap mereka berpisah,

"Calon istriiiiii, hati-hati yaaa!"

Arrggghhhhhh... Langiiiiittt!!!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Juli, 2006.

"Rei, kamu sama Langit jadian ya?"  

Rei diam, nampak pucat. Yang bertanya namanya Una, sahabat terdekat Rei. Una ini adalah salah seorang petinggi rohis. Jadi, literally, Rei tidak tahu, Una bertanya atas nama dirinya atau atas nama rohis. Tidak berani menebak, lebih tepatnya.

Rei bisa merasakan lidahnya mulai kelu, "Nggak, Unaaa.. Una denger dari siapa sih? Dari anak-anak OSIS ya? Ah, itu mah bisa-bisanya si Langit aja, Un.."

"Yahh Rei, sama aku masih mau ga jujur juga. Tiap pagi Langit dateng ke kelas kamu, kan? Kalo kayak gitu, siapa juga yang ga bisa lihat?" Una nyengir, diam-diam Rei lega karena nampaknya Una bertanya atas nama dirinya sendiri.

Ah-ya, sudah dua bulan ini Langit memang rutin datang ke kelasnya tiap pagi. Sengaja memutar, padahal jelas-jelas rute kelas Langit dan Rei berlawanan arah. Tiap pagi itu juga, Rei mulai terbiasa dengan senyum dan suara khas yang mengatakan, "Selamat pagi, calon istri!"

Rei menggeleng, "Nggak Una, aku udah cerita kan becandaan Langit soal delapan tahun-delapan tahunan itu? Ngaco emang tuh si Langit.."

Una tersenyum, tangannya sibuk merapihkan buku-buku ke rak perpustakaan masjid, "Ngaco memang ya si Langit, Rei, Tapi kamunya suka?"

Mendadak, Rei merasa lidahnya berkali-kali lipat lebih kelu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(masih) Juli 2006.

Ada yang aneh hari ini.

Rei berulang kali memeriksa isi tas-nya. Apakah buku? Atau PR yang belum dikerjakan? Atau ada ujian yang ia lupakan? Ia cek sekali lagi, tidak. tidak ada yang tertinggal. Lalu Rei mencoba ingat rutinitas paginya. Tidak, tidak ada shalat shubuh yang kesiangan. Bahkan dhuha sudah ia lakukan sesampainya di sekolah tadi. Dzikir pagi pun sudah diselesaikan. Lalu apa? Apa yang salah hari ini?

Rei memandang sekeliling kelasnya, mencoba mencari-cari lagi perihal yang membuat hatinya begitu tak tenang pagi ini. Siapa tau ada tugas-ketua-kelasnya yang belum diselesaikan. Buku absensi? Lapor piket? seingat Rei sudah semua. Udah kok, udah beres semua.., Rei membatin menenangkan dirinya.

Melirik jam di dinding depan kelas, Rei makin tak tenang. Lima menit sebelum bel masuk, dan Rei belum menemukan apa yang membuat hatinya terganjal pagi ini. Apa? Siapa?

Teeeeet! Teeeeeet! 
Resmi bel masuk berbunyi, kelas langsung dipenuhi dengan murid.
Hati Rei mencelos, ia menemukan apa yang aneh di hari ini.

Langit. Langit tidak datang ke kelasnya pagi ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 


Per-hati-kan: Hati-Hati Menjaga Hati

27 Sep
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
Q S Al An’aam 162


Kepada semua orang yang akhirnya menemukan tulisan ini percayalah ini bukan cerita murahan pinggir jalan. Tak pernah benar-benar terjadi, hanya ilusi. Ini benar kisahku, atau bisa jadi telah, sedang, akan menimpa kalian juga, anak-anak, cucu kalian kelak. Walau aku tak tahu akan ke siapa tulisan ini singgah, kemana ia menghempas, kapan ia tertemu, per-hati-kan pesanku: berhati-hatilah menjaga hati. Ini kisahku, tapi bisa juga jadi kisah kalian.


Tepat 9 Juni 2009, kutulis percik ini

Sudah banyak kisah ikhlas yang aku dengar, aku baca, sering bahkan. Selintas atau hingga yang membuatku terpaku, tersedu-sedu. Maklum saja aku, sebagaimana kata orang-orang adalah seorang aktivis dakwah kampus. Walaupun hakikat dari terminologi aktivis dakwah kampus itu sendiri masih tak aku mengerti, pada akhirnya lambat laun sebutan itu menjadi identitasku juga akhirnya. Identitas, kuusahakan tak sampai di level itu saja.

Kisah bunda Hajar. Belum usai letih perjalanan yang ia rasakan. Belum jua ia mampu berpikir jernih, sang lelaki mulai beranjak menjauh. Menjauh, meninggalkannya, meninggalkan mereka tepatnya. Paraunya, “Yaa.. Ibrahim, apa yang kau lakukan dengan meninggalkan kami disini?” Tidak menoleh! Suami tetap melangkah mantap. Mempercepat. Tegas. Sedikit ia keraskan suara, “Yaa.. Ibrahim, apa yang kau lakukan dengan meninggalkan kami disini?” Parau itu mencabik-cabik hati sang lelaki. Hingga langkahnya pun melamban. Hatinya dilema, terbelah dua, Allahu Rabb. Aku tiada mengerti makna perintahMu ini.. sungguh pun…

Tetapi ia, suami, tidak berhenti menjauh. Di tengah kebingungan. Padang gersang tak bertuan.Tanah tandus tak beroase. Tiada penghidupan. Hampir-hampir tiada yang mampu menjadi sumber kehidupan. Dalam kepanikan. Dalam kekhawatiran. Dalam kecemasan. “Tunggu! Suami ku, adakah ini perintah Allah?” Cukup. Hanya dengan dua kali panggilan berulang yang tak terjawab, keimanan kini mengambil alih. Menggubah kata tanya dalam serta merta. Hingga ia, sang suami pun tercekat. Berhenti ia. Memutar. “Ya, duhai istriku… ini adalah perintah Allah..”


Tak hanya narasi-narasi itu bahkan di sekelilingku, aku insyaf akan adanya ikhlas di sana sini. Tanyakan pada jantung yang senantiasa setia memompakan darah ke seluruh nadi. Bagaimana ianya rela memforsir diri bahkan di kala anggota fisik lain tengah mengistirahatkan diri. Lalu tentang hamparan bumi meluas yang tak pernah mengganti posisinya sebagai objek terpijak. Bahkan pun tiada bandingnya ketika perut diuruk, rerambut dicerabut, tulang-tulang dipatah. Tak pernah ia marah. Tak pernah. Inilah ikhlas yang aku tahu bahwa ia sejatinya adalah Sunnatullah.

Benar sesungguhnya Allah menguji keikhlasan dalam kesendirian. Kisah-kisah telah terlampau mudah dicerap, logika mencari analogi pun cerkas dalam labirin kognisiku. Namun, saat ikhlas harus membenturkan diri pada kenyataan bisakah kita, bahkan untuk hal-hal kecil, bahkan untuk hal-hal sederhana. Karena ikhlas bukan materi, bukan definisi, tak dapat diinderai, ia di sini di hati.


Tepat 8 Juni 2009, inilah yang terjadi

Kuperhatikan lagi bayangan yang terpantul pada cermin di hadapanku. Yups, sudah rapi. Aku pun segera meraih ranselku dan melangkah keluar kamar. Namun, oo, di luar mendung rupanya. Aku kembali ke kamar. Kumasukkan sebuah payung ke dalam ranselku. Ketika keluar, aku berpapasan dengan ayahku.

“Mau hujan lebat, Dik. Tetap mau pergi?” tanya ayahku.

“Iya. Udah janji soalnya, Pa.”

“Ya udah. Papa antar sampai depan.” Ayahku memutuskan.

Kami meluncur bersama vespa kesayangan. Awan gelap itu tampak sudah siap menumpahkan airnya ke bumi. Ayahku mempercepat laju vespanya. Namun, apa daya, di tiga perempat perjalanan, air hujan itu turun juga. Kami berhenti sejenak untuk mengenakan pelindung, lalu melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa menit, sampailah kami ke tujuan. Aku segera menaiki angkot yang akan membawaku ke terminal Kampung Rambutan, tempat dimana aku bisa menemukan angkot lain yang akan membawaku ke kampus UI, Depok.

Begitu duduk di angkot pertama, hujan menderas. Benar-benar deras. Angin yang kencang berputar ke sana ke mari membuat jatuhnya air menjadi tidak beraturan. Separuh isi angkot yang pintunya terbuka itu basah. Untunglah penumpangnya hanya dua, aku dan seorang pria di pojok seberang. Supir angkot ini begitu bersemangat (atau sedang kesal? Hehe). Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi sehingga tak sampai 10 menit (perjalanan normal 15 menit) kami sudah tiba di terminal.

Aku turun dan memakai payung sambil berjalan menuju angkot 19 jurusan Depok. Pelataran terminal tergenang air. Walhasil, sepatu dan bagian bawah rokku basah. Ditambah lagi, payung yang kupakai menjadi tidak banyak berpengaruh karena ia sibuk diombang-ambingkan angin. Maka, sebagian jilbabku pun ikut basah. Setelah berjalan sambil sibuk menahan payungku agar tidak terbang, aku melihat angkot itu di hadapanku. Finally!

Aku melangkah masuk dan melihat sekeliling. Di bangku panjang berkapasitas empat orang, aku melihat tempat kosong, posisi kedua dari pintu. Posisi terdekat ke pintu diduduki seorang ibu. Aku pun berjalan ke sebelah ibu tersebut.

Ketika akan duduk, sebuah paper bag berwarna pink berisi kertas-kertas yang dimasukkan ke dalam plastik fotokopi bertengger di tempat yang akan kududuki. Aku urung duduk. Bertanya ini milik siapa. Laki-laki yang menduduki posisi ketiga dari pintu hanya diam. Ah, ternyata ibu di sebelahku yang bereaksi. Ia menyentuh paper bag itu. Kupikir akan segera diambilnya, namun ternyata hanya dirapatkannya ke jendela angkot. Aku bingung. Namun, aku tidak bertanya dan memutuskan untuk duduk. Sudahlah, pikirku. Toh, tidak mengganggu dudukku. Kubiarkan paper bag itu di belakangku.

Angkot belum penuh. Itu artinya belum akan berjalan. Kuhitung-hitung berapa lama lagi kira-kira akan penuh. Tempat di samping kanan pria di sebelahku masih kosong. Satu. Bangku panjang di seberangku yang berkapasitas enam orang, baru terisi lima. Dua. Bangku kecil berkapasitas dua orang di depan pintu masih kosong. Empat. Bangku depan di samping supir penuh. Hmm… empat orang lagi.

Sedang aku menghitung-hitung, ibu di sebelahku, yang sejak tadi mengutak-atik ponsel, menyentuh pundakku. Aku menoleh. Si ibu berkata, “Adik basah nggak?” sambil meraba jilbab bagian belakangku. Awalnya aku bingung, sampai aku melihat dia menggeser paper bag itu lebih mendekat kepadanya dengan tetap disandarkan pada jendela angkot.

What? Dahiku mengernyit.

Apa maksudnya? Dia takut kertas-kertasnya basah terkena jilbabku?

Aku mulai tersinggung.

Kalau dia tidak mau kertas-kertas itu basah, kenapa tidak diambil? Dipindahkan jauh-jauh dariku?
Jelas-jelas ini tempat dudukku.

Tidak, bukan tersinggung. Kali ini aku kesal. Benar-benar kesal.
Tapi aku tidak melontarkan sepatah kata pun.

Si ibu, setelah menggeser paper bag-nya sehingga berada dalam posisi yang “aman”, kembali asyik dengan ponselnya. Aku pun berusaha mengalihkan perhatian agar kesal-ku hilang.

Beberapa menit lewat.
Kembali, si ibu menyentuh pundakku. Aku menoleh lagi. Si ibu bertanya,

“Dik, ini kalau mati gini kenapa ya? Baterainya atau karena basah ya?” ia menunjukkan ponselnya padaku. Layarnya mati kulihat.

Kawan, jujur, kau boleh katakan aku jahat, tidak sabaran, tidak menghormati orang tua, payah, atau apalah. Tapi ketika itu, ketika rasa kesal itu masih tersisa, aku tidak berminat untuk membantunya. Bahkan, terkesan tidak peduli.

Alih-alih mencoba memeriksa ponselnya, aku hanya berkata, “Saya juga nggak ngerti, Bu.” dengan nada malas.

“Nggak ngerti ya?” si ibu pasrah.
Mimiknya saat itu cukup membuatku iba. Tapi lagi-lagi aku kalah oleh amarah. Bahkan, untuk sekedar bilang “Mungkin baterainya habis, Bu.” untuk menenangkan si ibu, mulutku terasa berat.

Kawan, setan tertawa. Tapi aku tidak sadar.

Penumpang mulai berdatangan lagi. Seorang wanita berjilbab masuk. Pria di sebelahku bergeser ke pojok. Aku mengikutinya. Si ibu tetap memilih di pinggir. Otomatis wanita berjilbab itu berada di antara aku dan si ibu.

Angkot tinggal menunggu satu orang lagi. Bangku kecil di depan pintu masih kosong satu. Seorang mahasiswi menghampiri. Rupanya, salah seorang penumpang di dalam angkot yang juga berpenampilan seperti mahasiswi, sebut saja ia si baju merah, adalah temannya. Si baju merah merasa senang melihat temannya. Ia pun menyuruh temannya masuk dengan mengatakan, “Bisa, kok. Satu lagi.”

Namun, temannya itu tidak bisa duduk karena ada sebuah payung di atas bangku kecil tersebut.
Si baju merah mengerti, ia pun bertanya kepada si ibu, “Ini payung ibu ya, Bu?” tanyanya. Tentu saja dengan harapan si ibu akan memindahkannya agar temannya bisa masuk.

Namun, kau tahu apa jawaban si ibu?

“Iya. Biarin aja disitu.” Kini si baju merah yang mengernyitkan dahi.

Temannya yang tidak tahan berhujan-hujanan memutuskan untuk menaiki angkot yang dibelakang saja. Si baju merah sedikit kecawa. Namun, apa daya. Melihat itu, respekku pada si ibu semakin berkurang saja rasanya. Seorang penumpang lagi berniat masuk. Sama seperti mahasiswi pendahulunya, ia bingung karena ada payung.

Namun, kali ini, seorang ibu di pojok depanku berkata kepada si ibu, “Ibu, itu tolong payungnya dipindahin, Bu. Biar cepet penuh dan cepet jalan.”

Ampuh. Payung pun dipindahkan.

Angkot bersiap jalan. Lagi. Si ibu menyentuh pundakku. Ia bicara padaku lewat belakang wanita berjilbab yang duduk di antara kami. Ia berbisik perlahan,

“Dik, boleh minta uang seribu nggak, Dik? Untuk tambahan ongkos. Uang saya kurang, tadi habis nebus obat.”

Aku paham maksudnya. Kubuka ranselku. Kuambil selembar uang seribu rupiah dari dalamnya, lalu kuserahkan pada si ibu.

“Terima kasih, ya, Dik.” katanya.

Aku tersenyum tipis. Kawan, jujur, bantuan itu memang kuberikan. Tapi hatiku?
Jika boleh aku mengaku dosa, kawan. Aku memberikannya dengan segera agar urusanku dengannya cepat selesai. Astaghfirullah. Semoga Allah mengampuniku.

Angkot berjalan. Hujan tetap dengan setia turun walaupun tidak sederas sebelumnya. Suasana dingin mengundang para penumpang untuk tertidur. Termasuk aku. Sekitar 15 menit aku tertidur. Aku terbangun ketika penumpang mulai turun. Ketika itu angkot sedang melaju di daerah Universitas IISIP Jakarta.
Penumpang di bangku panjang seberang tersisa dua orang. Akhirnya, perempuan berjilbab di sebelahku memutuskan pindah. Kembali aku berada di sebelah si ibu.

Ketika angkot sampai di depan Stasiun Lenteng Agung, lagi, (perhatikan, kawan, lagi!) si ibu menyentuh pundakku. Ingin rasanya aku mengatakan, “Oh, ma’am, what else?”

Aku menoleh lagi. Ia menyodorkan kertas-kertasnya tadi padaku sambil berkata,

“Dik, ini gimana ya caranya biar nggak basah?”

Aku memperhatikan kertas-kertas dalam plastik yang disodorkan padaku. Ada dua buah plastik, masing-masing berisi berkas yang berbeda. Aku punya ide. Kusatukan kedua berkas itu dengan maksud agar pastik itu bisa saling menutupi. Si ibu melihatku bekerja dengan wajah polos. Tapi, ia panik ketika melihatku menyatukan kedua berkas itu.

Ia berkata, “Itu jangan dicampur, Dik.”

Aku menghela napas. Kali ini aku harus bicara, “Ibu, kalau ini nggak disatuin, nanti berkas yang satu lagi nggak ketutup. Akan tetap basah nanti.” kataku seperlahan mungkin.

“Oh, gitu ya? Ya udah, deh. Nggak papa, Dik. Daripada basah, repot lagi nanti.” katanya menyetujui tindakanku.

Untuk kedua kalinya, kawan. Bantuan itu memang kuberikan. Tapi hatiku? Entahlah. Meski kesal itu mulai berkurang, tapi ikhlas? Rasanya masih jauh. Pekerjaanku selesai. Berkas itu rapi kini. Kusodorkan semua kepada si ibu. Kembali si ibu berterima kasih.

Namun, tunggu.

Ketika kusodorkan kertas dalam plastik itu, sempat terbaca olehku kertas di susunan paling atas bertuliskan “Surat Keterangan Miskin” lengkap dengan stempelnya.

Aku sedikit terkesiap.

Lalu aku mulai mengamati si ibu dengan saksama, hal yang sejak tadi aku abaikan. Ia mengenakan baju tidur panjang berwarna coklat yang terdiri dari satu stel, celana dan baju, yang sudah tampak lusuh. Ditambah dengan kerudung langsung berwarna coklat yang sama lusuhnya. Sandalnya jepit berwarna merah muda. Selain paper bag dan payungnya tadi, ia masih menenteng sebuah plastik berwarna merah muda, yang entah isinya apa.

Kawan, jika tokoh Shinichi dalam komik “Detective Conan” selalu mengatakan bahwa fakta-fakta yang ditemukan di TKP sebenarnya adalah potongan puzzle, yang walaupun kelihatan berantakan dan bentuknya tidak karuan, pasti akan berbentuk jika kita mengubah sudut pasangnya, maka aku pun mulai mencari hubungan antara semua hal yang kulihat dan saksikan.

Pakaian lusuh…
Surat keterangan miskin…
Ongkos yang kurang karena menebus obat…
Kau pun mulai melihat hubungannya, kan?

Analisisku pada akhirnya mengantarkanku ke bibir jurang penyesalan. Atas perasaan tidak sabar. Atas sikap yang tidak ramah. Atas bantuan yang tidak disertai keikhlasan. Kutatap sang ibu iba.
Angkot sampai di daerah Gardu. Sang ibu bilang, “Kiri, Bang. Gardu.”

Ia membayar ongkos (tiga ribu rupiah), lalu turun perlahan. Setelah kakinya menginjak tanah, ia pun mulai berjalan.

Pelan. Dan… terpincang-pincang!

Ya Tuhan! Kini aku sudah bukan lagi berada di bibir jurang, tapi telah dengan sukses terhempas masuk ke dalam jurang itu. Dalam.

Pemandangan itu… hanya sekilas karena angkot segera melanjutkan perjalanan, tapi, mampu membuatku membeku selama beberapa detik. Speechless.


Pun tentang kisah Salman dan Abu Darda’ itu, saudara, teman entah siapa kau kan kusebut,
Ah, kau lebih paham itu.. sungguh..
Pun bahwa aku percaya bahwa “Jika ini adalah perintah Allah… maka sungguh ia tidak akan menyia-nyiakan kami!”


Tapi dalam nyataku ia entah kemana, entah kemana.



Oleh:
Fina Febriani dan Jayaning Hartami dipadu-padan Muhammad Akhyar

#3.8

Malam sudah larut, tapi Rei belum juga tidur. Matanya menatap layar laptop -satu satunya cahaya yang menerangi kamarnya-.

Klik! 
Suara notifikasi muncul. "Ah ya, pasti dia," Rei tetiba tersenyum tanpa bisa ditahan. Sesegera ia buka laman blog untuk membaca satu komen yang ditunggu-tunggunya.

Kebiasaan ini sudah hampir sebulan lamanya berjalan.

Entah kenapa untuk satu penanggap blognya ini, Rei susah menahan diri. Lupa dengan jam malam. Lupa dengan penanggap lain. Lupa dengan sekitar. Lupa untuk berhati-hati dengan hatinya. Untuk satu penanggap ini, Rei selalu girang bukan kepalang. Bahkan untuk satu baris sepele yang mungkin tak ada artinya. Buat Rei, setiap huruf yang muncul adalah semangat yang terpompa ke seluruh tubuhnya. Meski keesokan hari, ia dan si penanggap hanya bersitatap di persimpangan gedung saat pergantian kelas. Meski tak pernah ada konfirmasi tentang kejelasan maksud menanggapi.

Melakukan blogwalking ke sana? Tak perlu ditanya. Laman itu jadi salah satu tempat berkunjung favoritnya. Walau jarinya selalu berhenti di tengah tulisan, lalu lantas meng-klik discard untuk membatalkan komennya. Tidak. Rei tidak sampai hati untuk meninggalkan jejak di sana. "Ia cuma seorang Kakak," begitu Rei membatin berkali-kali. Kakak, tak kurang tak lebih. Kakak yang perhatian. Kakak yang tak segan menawari bantuan. Kakak yang selalu menyuruhnya pulang kampus sebelum jam malam. Kakak yang seringkali menambahkan, "Dik" di akhir kalimat sapanya. Kakak yang begini. Kakak yang begitu.
 

Rei mengambil nafas dalam-dalam. Masih tersenyum memandangi satu kotak kecil yang muncul tepat di bawah tulisannya. Malam sudah semakin larut, namun ia masih enggan untuk menyudahi urusannya.


Sampai dimana Rei dan ia?

Sesungguhnya tak pernah beranjak kemana-mana. Lelaki penanggap setia blognya ini hanya teman satu kampus yang tak sengaja bekerja di tempat yang sama. Jangankan jalan berdua, sekedar mengobrol tanpa ditemani pihak ketiga saja mereka tidak pernah. Tapi terkadang, sesekali meningkat ke percakapan YM. Atau bertanya tugas lewat sms. Terkadang lelaki ini menelepon sekedar bertanya Rei sedang apa, dimana, dengan siapa. Lebih dari itu? Tidak, Rei dan lelaki ini tidak pernah beranjak kemana-mana.  


Rei tidak sadar, ada yang menetes satu persatu.
Buat Rei, entah buat lelaki itu... 



-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------






Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger