Siang yang ramai. Lapangan dipenuhi murid-murid yang berebut ingin pulang lebih dulu. Walaupun sebagian dari mereka nampaknya senang berlama-lama di sekolah, mengikut iekskul, mengurus kepanitiaan, pengajian, ini-lah, itu-lah.
Salah satunya Rei.
"Nyariin siapa, Rei?" Una tiba-tiba muncul, mengagetkan.
Rei, matanya masih mencari-cari, "Nggak, Un.. Gak nyari siapa-siapa kok.."
"Lah itu mata kamu kemana-mana dari tadi. Emang aku gak perhatiin?"
"Engg... itu Un.. cari..."
"Hahahaha.. Gw tau! Lo nyari Langit, ya Rei?" tetiba Una terbahak disebelahnya.
Rei memicing, "Nggaaaakk!! Gw gak nyariin dia, Unaa!!"
"Lah jadi nyariin siapa?"
"Ihhh, Una..," Rei memelankan suaranya, "Gw kan cuma penasaran, kenapa dia gak ke kelas gw pagi ini.."
"Hhahaha.. Reiiii.. Kamu udah mulai nyariin Langit ya sekarang. Huahahahaha," Una tidak bisa menahan tawanya.
Wajah Rei memerah, diam-diam bertanya pada hatinya, "Iya ya.. Ngapain juga pake nyariin Langit segala.."
Rei tidak sadar, beberapa meter dari mereka ada sepasang mata yang memperhatikan. Mata yang sedari tadi tersenyum melihat wajah cemasnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agustus 2006.
"Ini serius ya, Rei. Aku mau masuk FKUI selepas lulus nanti. Kuliah kan 4 tahun, ditambah ambil spesialis 2 tahun. Kalo ditambah sama 2 tahun SMA kita, jadi pas 8 tahun kan..,"
Langit dan Rei, keduanya sedang berada di salah satu perhelatan besar OSIS. Acaranya di Tugu Proklamasi, sedari tadi keduanya sibuk patroli sana-sini. Menjadi pengawas karena BPH (Badan Pengurus Harian) inti. Dan seperti biasa, Langit membuntuti Rei kemana-mana.
"Ya ya ya ya, masuk aja ke FKUI, Ngit.." Rei menjawab sekedarnya sambil sibuk membuat catatan.
Langit menatap gadis itu lurus, "Rei, saya serius."
Rei menghentikan kegiatan mencatatnya, walau tetap matanya menunduk.
"Rei, kamu nggak anggep semua ini serius ya?" Nada Langit meninggi.
"Kamu kira saya main-main, minta kamu jadi istri saya 8 tahun lagi?"
"Rei!" Langit sedikit membentak. Gadis di depannya mulai bergetar.
"Saya harus anggap kamu seserius apa, Langit?" Rei memulai jawabannya, "Kita masih SMA. Lulus PTN aja belum tentu. Bahkan lulus SMA aja belum pasti. Kamu selalu bilang 8 tahun-8 tahun, kalau memang 8 tahun lagi, kenapa harus sekarang? Kamu bahkan masih punya 7 tahun buat ketemu yang lain.."
"Nggak. Saya nggak bisa nunggu, Rei."
Langit pergi, Rei cuma tertegun mencoba mencerna semuanya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Desember 2006.
“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama
aku mencintainya" (dalam cerpen Linguae, Linguae, Gramedia, 2007)”
"Kuliah nanti, kamu mau ambil apa?" tanya Langit kepada Rei, saat keduanya (kebetulan) dapat jadwal piket OSIS bersamaan.
"Psikologi," jawab Rei pendek.
"UI ya, Rei?"
"Emmm.. tergantung, kamu maunya FK UI kan ya?"
"Iya."
"Kalo gitu saya mau ke UGM aja deh, ha ha ha.."
"Yahhhh.. kok UGM sih, " ada nada kecewa.
"Iya, biar jauh dari kamu! Weeee..," Rei membunyikan tawa khasnya. Langit tersenyum, sungguh gadis ini membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
Langit dan Rei, sudah sebulan ini keduanya terjebak dalam hubungan aneh. Ada pernyataan memang, tapi Rei tidak pernah memberi jawaban. Semua menjadi absurd seiring dengan kekakuan yang mencair diantara mereka. Rei sudah jarang lagi marah, sedang Langit makin sering datang ke kelasnya. Tidak pernah jalan berdua memang, tetapi melihat kedua makhluk ini berinteraksi, siapapun bisa menebak ada sesuatu yang lebih. Meski itu tak pernah terdefinisikan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Januari 2007.
"Kamu punya pikiran sama denganku?" Lelaki itu berucap patah-patah. Seolah kalimat itu bukan miliknya.
Gadis di seberang sana terisak. Pelan, "I-ya.. aku juga.. sudah lama sebenarnya, tapi.."
"Aku yang salah, harusnya nggak aku mulai semua ini..," suara Lelaki itu ikut bergetar. Entah kenapa tentang gadis ini, ia selalu rapuh.
"Kita salah.. Ya Allah, Langit.. harusnya aku ga nanggepin semua ini..," tidak tahan lagi, tangis Rei pecah.
Langit makin teriris, "Nggak Rei, aku yang salah. Kamu benar, harusnya aku nggak perlu memulai ini dari awal, harusnya..," Langit tercekat, sekelibat memori muncul di kepalanya. Saat sahabat-sahabat terbaik mengingatkan, interaksi Rei dan Langit mulai kelewat batas. Mereka adalah salah satu aset terbaik rohis. Melakukan hal buruk, berarti memberi contoh dan kelegalan yang buruk pula.
"Bisa kita selesaikan semuanya, Rei?"
masih terisak.
"Rei? Ya-ampun, jangan nangis Rei, saya gak kuat dengernya.."
"Memang harus selesai.. Langit, semuanya harus selesai.." Rei menjawab patah-patah.
"Rei, saya minta maaf.."
"Ya..."
"Kalau begitu, kita sudahi semua..," Langit merasakan sesak naik ke dadanya. "Terimakasih, Rei.. saya minta maaf.."
Klik! Telpon terputus, meninggalkan Rei yang masih terisak.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Roar
1 bulan yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)