Satu-satu saja, Tami. :)

Sedang senang sekali... banyak merenung akhir-akhir ini. Ternyata hidup saya sunggguh seperti roller coaster. terutama setelah menikah. Ada naik, ga jarang turun. Kadang lompat, kadang jatuh. tapi terlebih sering, kami sama-sama saling membersihkan debu untuk kemudian berlari lagi.

Iya, Tami sedang senang sekali (saat ini).

Mengetahui betapa banyaknya capaian yang sekarang ada, yang bahkan dulu ga kepikiran bisa.
Mengetahui betapa jauhnya kami melompat, yang bahkan dulu bangun pun berat.

Lalu tiba-tiba teringat,
saat kecil dulu.. saya sering sekali mengambil berangan bisa selalu ambil shorcut dalam hidup.
Misalnya saja kalau di pekan ini hari jumat sekolah akan darmawisata, maka dari Senin saya sudah berangan, "Ah, seandainya bisa tidur dan tau-tau bangun udah hari Jumat" :P

Misalnya lagi pas SMA, menjelang pengumuman PMDK, saya suka diam-diam berdoa pada Tuhan, "Allah, bisa ga ya Tami merem trus pas buka mata tiba-tiba udah jadi mahasiswa psikologi UI?"

Termasuk pas galau jodoh. Hahahaha.. pengennya tidur aja terus bangun-bangun udah jadi istri orang. #lah
 
dodol ah emang si Tami.

tapi ternyata sampai sekarang saya masih suka berpikir shortcut macem gitu. cuma bedanya sekarang udah lebih banyak makan asam garam kehidupan *aihhh*, jadi lebih realistis aja gimanapun lamanya tidur malam ini, besok pasti bangunnya ya pagi hari di hari selanjutnya. itupun kalo bangun ;)

Iya, Tami lagi senang (saat ini).
Karena kehidupan sedang menyenangkan sekali untuk dijalani. Bahkan untuk direnungi.

Banyak sih, yang belum dicapai memang. tapi di titik ini, fase dimana saya saya benar-benar punya kontrol atas hidup saya (plus anak dan suami di beberapa keputusan tertentu), ternyata bisa loh. Iya, ternyata Tami bisa loh.. Ternyata Dzaky bisa loh.. 

Sebelum nikah kan, selalu ada pihak lain untuk semua pengambilan keputusan. ;)

Pernah dengar kata2 orang tua tentang, "Membangun semuanya bareng-bareng dari Nol.."
Aih, ternyata memang bukan sekedar kata. Bener-bener ga sekedar membangun saja. Disana ada sakit. ada luka. ada jatuh. ada bangga. ada haru. ada rasa manis yang menelusupi dada tiap menengok ke belakang sambil bilang, "Gila ya Ay, kita pernah ngelewatin ini itu loh..."

Belum sampai puncaknya banget. Masih jauh. Tapi kami tahu kami bergerak. satu tapak demi satu tapak. satu centi ke satu kilo. dan terus.. dan terus..


Di titik ini saya sadar, betul yang Robin Scherbatsky bilang,
"You can't jump right to the end. The journey is the best part.."


yeah.. saya sungguh menantikan apalagi yang semesta akan sediakan diperjalanan ini.

 

Another count of blessing...

Abhiwa akhirnya wisudaaaaaa!! Yeay! iya, wisuda s1. Alhamdulillaah, masih dari ITB kok lulusnya. Buat orang lain mungkin pencapaian yang ga seberapa, tapi buat lelaki kesayangan saya yang prioritaskan kewajibannya cari nafkah ketimbang kuliah itu, that's a huge milestone. Seneng, bangga, campur aduk rasanya. Berasa ngehadirin wisuda anak sendiri hahaha..

Jadilah kemarin Sabtu itu, saya curi-curi bolos kuliah demi ke Bandung menghadiri wisuda si Aay. Tapiiii.. Namapun wisuda ITB pake model arak-arakan dan sidang terbuka tapi di tempat tertutup (?) macem Sabuga, praktis saya ga ketemu suami sendiri dari pagi sampai maghrib. Kok bisa? Iya, soalnya undangan sidang terbukanya cuma ada dua. Dan tentunya, sebagai menantu yang baik, dua undangan tersebut jadi hak prerogatifnya Ummi dan Abi alias mertua saya. Ah ya, they deserve it more. 

Akhirnya, g ada deh yang namanya foto-foto wisuda hahaha.. Boro-boro foto, sorenya aja hujan gede pake banget, cyiin.. Alhasil saya, Ibu, Aqila, Adi, Ummi, dan Abi yang nongkrong nontonin arak-arakan malah jadi basah kuyup kesiram hujan.. Gagal mau foto-foto cantik, padahal udah bela-belain beli dress baru buat Aqila khusus dipakai ke wisuda Abinya. Well, man plans God decides, rite?

Sehabis wisuda kami pun melipir ke Resto Warung Cepot di daerah Pasteur. Alhamdulillaah, ada rizqi lebih jadilah semua pasukan ditraktir sama si Aay sepuasnya. sekenyangnya. Dan dodolnyaaaa, lupa foto-foto lagi .____.

Ini gimana ya, event hidup yang monumental, eh malah g ada dokumentasi sama sekali. Hahaha.


Taaapiii... ada satu kejadian menyenangkan pasca wisuda.. Berhubung dari Idul Adha kami (Aay, saya, dan Aqila) full ngiterin sodara, mertua, dan ortu (maklum aja yah, Ibu di Priok, Ayah saya di BSD City, Ummi Abi di Walang, semua minta dikunjungin :)), jadilah Aay ngajak jalan-jalan. only three of us! Yeay!

Awalnya bingung juga. Karena rumah baru beres (lebih tepatnya, baru selesai diberesin khadimat, hihihi) jam 11 siang, kemana yaa tempat yang enak dan ga terlalu jauh? Awalnya mau ke Detos, ngajak Qila main di Dinopark tapi ga sreg karna kok kayaknya main ke Mall mulu. Trus sempet kepikiran ke TMII, tapii ngebosenin hahaha *labil*. Akhirnya, diputuskan ke... SeaWorld! :))

Awal berangka, Aqila biasa aja lohh.. Dulu pertama kali ke SW memang pas dia masih 1 tahun. Jadi ga terlalu ngeh saat saya jejingkrakan (literally jejingkrakan, soalnya saya udah lama ga ke sana hehe) ngasih tau kalau kita mau jalan-jalan ke SW. Ditambah lagi di tol maceeeett mulai dari arah TMII.. Nah, nona kecil mulai gelisah di carseat. Minta minum lah, makan lah (dan abis sekotak tupperware, padahal sebelum jalan udah makan sepiring --"), baca buku lah, sampai gong nya minta turun dari mobil. hehe.. Sesungguhnya udah sempet ragu mau lanjut ke SW atau puter balik (dan ujung-ujungnya ke Detos lagi  >.<) Tapi Abhiwa baik sekaliii.. tujuan ga dirubah. Dan sampailah kami di SeaWorld :))




Anak bocah senang syekaliiii... Masuk ke terowongan aja sampai 3 kali (dan terus minta nambah lagi). Disaat Ami dan Abinya udah ngurut kaki sambil duduk di depan Aquarium utama, dia masih lelarian aja gitu.. Terutama di Kolam Sentuh. Aqila senang sekali melihat penyu mondar-mandir. Belum sampai megang penyu nya sih, tapi tangannya udah berani masuk ke kolam, good job, Girl! :) Saking mondar-mandirnya di Kolam Sentuh, salah satu mba penjaga sampai ngasih majalah, pulpen, dan stiker yang harusnya dibagiin pas quiz Aquarium Utama. Alhamdulilllaah, rizqi ga kemana yaaaa...


Setelah 3 jam di SeaWorld, udah pake plus nonton cara pemberian makanan Ikan Duyung dan ikan-ikan di Aquarium Utama (and the little girl is soooo excited waving her hand to "Kakak Penyelam"), saya dan Ay mulai membujuk nona kecil buat pulang. Tebaaak? Iyak, dia g mau pulang dong --", sampe bilang "Ami sama Abi bobo di sini. Aqila juga bobo di siniiii.." Ya iya kali Nak, bisa nginep di SW. tidur di kolam hiu aja apa? :D

Setelah dibujuk ini itu (dan es krim dari Abhiwa), akhirnya anak kecil pun mau diajak pulang.. Dikiran sepanjang jalan bakal "seger" kayak pas berangkat. Ternyata tidur! Hahahaha.. Kecapean dia. Tapi ga apa ya, Nak? yang penting senang :)

Malamnya juga, Abhiwa pamit ke Bandung lagi karena mau roadshow (elaah bahasanya..) ke Garut dan Tasik. Padahal seharian nyetir dan pulangnya sempet kena macet (lagi). Terimakasih ya Abii sudah diajak jalan-jalan.. jangan bosen-bosen yaa :)


Paginya, Aqila pun bangun langsung minta pake topi Ikan Pari yang dibeli di SW kemarin :))




Lagi lagi, Nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan, Tam? :")

I change my plan, then...

saat sedang mengurusi training LPDP di Sentul


"Dek, qila demam.."

"Tapi aku harus standby sampai rabu, Ay.."


esok malamnya..

"Halo? Aqila? Lagi apa?"

"Amii.. Amii.."

"Aqila? Sudah makan belum?"

"Huuuu.. Amii.. qila mau sama Ami.. Mau sama Ami ajaaa... Uhuhuhu.. Amiii, pulaang.."
-diam diam menghapus air mata-


masih di Sentul..

"Dek, demam Aqila tinggi sekali.."

"Iya Ay, aku pulang besok ya.. Makasih udah jagain Aqila.."
-tetiba gak konsen dengan form penilaian di layar tablet-

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

sudah dua hari, toilet training qila berantakan lagi..

"Aqila, kenapa ngompol lagi? Kan sudah bisa pipis di kamar mandi.."

"Nggak. Gak mau."

"Nanti kalau rasa mau pipis, bilang ya.."

"Gak. Gak mau"

"Aqila, kenapa? marah sama Ami?"

gadis kecil itu mengangguk..

"Kenapa? Karna Ami kerja di Sentul?"

"Iya."

"Aqila ga suka Ami kerja?"

"Ami di sini aja. Sama qila"

"Iya, Ami minta maaf ya... Aqila mau maafin Ami?"

"Iya.."

gadis kecil itu pun memeluk erat.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Waj'alna laila libaasa.."

"Terus?"

"Waj'alna nahaaro ma'asyaa..."

"Pinter.. terus?"

"Wa bainaina fau kokum sab'an syidaadaa..."

"Hebaaat.. lanjutin qil.."

"Waj'alna sirojawwahhaja.."

"Terus?"

"Gak tauuu.."

"Wa an'zalna...?'

"Gak tau amii. Aqila gak tau.."

Oh iya, sudah sepekan ini sibuk sama tugas, Ami ga kasih ayat baru.. Maaf ya, Nak...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Dek?"

"Ya, Ay?"

"Aa kan udah lulus. Kamu cukup kuliah aja ya.. nggak usah proyek yang nginep nginep lagi.."

"Iya sih, tapi..."

"Bayangin demamnya Aqila kemarin. Aa ga tenang ninggalin rumah, Dek.."

"Iya sih, tapi.."

"Di rumah aja ya? Cukup kuliah selebihnya sama Aqila. Boleh? Aa nya dibantu ya."

"Iya, Ay..."

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sonny : "You must help me to get that kid back!"

Layla : I just can't. I have some works to do tomorrow, Sonny."

Sonny : "Don't you love that kid?!"

Layla : "I love him. But I just have some important works to do. Don't you realize this is the reason why I choose not to dating anyone?"

Sonny : "Why?"

Layla : "Because it will ruin my plan. having mate, having children will ruin my career plan.

Sonny : "Do you think I plan that kid to come into my life? No! But he came, and I love him so much. I change my plan, then..

-dari Film Big Daddy-nya Adam Sandlers-

And yes, I love her so much that I change my plan, then.. :')








Que Sera Sera

“Kau tidak bisa membiarkan perasaan itu tumbuh tidak terkendali. Karena sekali tumbuh, maka tunas-tunas perasaanmu tak bisa kau pangkas lagi. Semakin kau potong, dia tumbuh dua kali lipatnya. Semakin kau injak, helai daunnya semakin banyak.”

--Tere Liye, novel "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin"



mari pupuk-siram-tumbuhkan perasaan itu. tentang anak. tentang pertetanggaan. tentang mereka yang tidur di pinggir jalan. tentang peradaban. pupuk-siram-tumbuhkan. harap-harap, harap-harapkan..

It's been a while...

since I sent a post to this blog. Ah, kangen! :')


So here we are... moving to Depok (again). Going to attend lecturers (again?!). Hehe.. iya.. September ini insyaallah saya kuliah lagi. Di UI lagi. Jadilah kami LDR (lagi?!). Ga buat waktu yang lama, mudah-mudahan. karena Dzaky supposed to be graduate on this October (jangan mundur lagi ya, Cyiin..)

Ga pernah nyangka kehidupan akan se-roller coaster ini. Namanya juga udah nikah, lanjut s2 ga lagi sekedar stepping stone buat diri saya seorang. Banyak konsekuensi yang akhirnya harus diambil. Semisal LDR, dan punya anak kedua, hihihi.. Tapi baiklah, mumpung Aqilla udah mau 3 tahun dan adik beybi nya belum ada. Pun Dzaky jelang lulus, jadi mari menerbangkan diri lagi ke ruang-ruang kognitif! :)

Ah ya, selain itu sekarang saya banyak berinteraksi dengan empat orang baik hati di sini. Errr.. enam orang sih kalo suami-suami mereka dihitung, heheu.. Sebut saja Naya, Tery, Ka Cici, dan Ka Akhyar. Kisahnya cukup ajaib, tapi singkatnya kami ngelola sebuah daycare sekarang. Agak terharu juga sih, pasalnya di dream book saya tahun lalu, daycare jadi salah satu goal yang mau saya capai. Walaupun yang sekarang belum hak milik, tapi boleh lah disyukuri.. AlhamduLillah.. :)

Yang mau nitip anak, boleh lohh liat-liat daycare kami..


 Sanaya Daycare. Jl Raya Tanah Baru No.100


Ini tim manajemennya ;) Hampir semuanya udah nikah lohhh.. maaf ya wajahnya gak realibel sebagai emak-emak dan bapak-bapak, hahaha..



Jadi disinilah saya, tiap hari berkutat dengan bocil, ngasong, lalu kontrol Sanaya. Lalu di September nanti, mesti kembali masuk kuliah dan bergemul dengan tugas-essay-and so on-and so on..

AlhamduLillaah, begini kabar saya. kabar kamu, bagaimana? ;)

Si Neng Qilla

Jadi ceritanya, Neng Qilla udah 2 tahun 8 bulan sekarang. Udah bisa diajak ngobrol yang dua arah (dan aslik, ngobrol sama bocah ini suka bikin ngakak sampe sakit perut), makannya tambah banyak (yang ini mah dari dulu yak, hihihi), dan yap kerasa banget kalo sekarang workload saya sebagai seorang Ibu mulai "berkurang". Berkurang dalam artian anak udah mandiri. Yah, namapun lagi masa autonomy ya, apa-apa sekarang Aqilla mah maunya ngerjain sendiri. Kalo diurus Ami-nya, malah doi yang balik marah.

Ini sebenernya postingan sepesial buat tante Puti di Spore, yang nanyain kabar bocil. Maap ya tanteee lama gak apdet blog, abisan kalo malem abis nyetrika bawaannya pegel pinggang. ehehehe.. Mudah-mudahan sedikit cerita ini bisa ngobatin kangen ;)

Suatu pagi...

*Setting situasi, anak bocah abis makan. dan seperti biasa, mukanya cemong-cemong*

Ami            : "Aqilla, sini!"

Aqilla         : "Apa Ami?"

Ami           : "Itu di deket mulutnya ada nasi nempel. Sini Ami bersihin deh!"

Aqilla        : "Haa? Apaa?" (oh iyes, ini template bocil kalo dipanggil. agak pengen bikin jitak emang :p)

Ami          : "Ituuu ada nasi, sini Ami ambil. (Lalu gw pun ngambil nasi yang nempel di dagunya) Tuh,    bersih kaaaan.."

Aqilla       : "Aaaaaaaakkkkk Gak maaauuuuu!!"

Ami         : "Heee? gak mau apaan?"

Aqilla      : "Gak mau! Gak mau!"

Ami        : ???

Aqilla     : "Gak mau! Mau nempel aja nasinya! Sini balikin nasinya!"

Kemudian anak bocah pun ngambil nasi di tangan gw, dan nempelin lagi tuh nasi di dagunya

Aqilla     : "Udah! Udah! Kayak gini aja! Nempel aja nasinya!"

Ami       : *geleng-geleng kepala*


In another morning...

*Ceritanya si Eneng baru bangun tidur*

Ami       : "Qillaaa.. hiii itu ada kotoran matanya tuuu.."

Aqilla    : "Apa, Ami?"

Ami      : "Ituuu.. matanya ada kotorannya. Sini sini (lantas gw ambil kotorannya), Nahhh.. bersih sekarang"

Aqilla    : "Aaaaaaakkkkk Gak maaauuuu!! Balikin sini kotorannyaaaaaaa..

Oh yes, lalu si anak bocil ngambil kotorannya dan nempelin lagi ke sudut matanya

Aqilla   : "Udah udah! Gini aja! Biar aja ada kotorannya! Udah!

Ami      : *kayang di tempat*

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terkadang, ada juga episode dimana anak bocil ngomong njeplak. Ya namapun anak kecil, kelewat jujur kadang-kadang :P

*Setting: Jadi Aqilla sering banget denger saya ngomong kayak gini ke Abi-nya pas mau naik motor: "Bi, aku duduknya nyamping aja yah.. gak pake celana daleman soalnya" Celana daleman disini means celana dobelan yak. Maap agak vulgar bahasanya, hehehe..*

 Lalu, begini ceritanya..

Beberapa hari dalam seminggu, Aqilla gw bawa ke daycare di daerah tertentu. Karena ceritanya si Abhiwa lagi di Bandung, otomatis mesti pake bantuan abang ojek buat nganter ke sana.

Ami         : "Qilla, sini sini kita naik ojeg."

Aqilla      : "Naik ojek ke epi hos (maksudnya Happy House -nama daycarenya-) ?"

Ami         : "Iyap, yuks yuks!"

kemudian datanglah si Abang ojeg. Then, gw naik dengan posisi duduk nyamping.

Ami        : "Ke cluster deket Masjid *tertentu* ya, Bang!"

Aqilla     : "Ami?" (suaranya rada kenceng)

Ami        : "Ya, Nak?"

Aqilla     : "AMI GA PAKE DALEMAN YA?"

Ami       : *nyebur ke laut*

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ah ni, ada satu lagi percakapan unik antara gw dan si Neng Qilla. Jadi ceritanya hampir tiap pagi kita lewatin jalanan samping Gunadarma yang menuju ke stasiun Pocin. Nah, di sepanjang jalan itu suka ada pengemis anak-anak yang tiduran.

Aqilla     : "Ami, kok Kakaknya tidulan di jalan?"

Ami       : *Mikir bentar* "Engg.. itu soalnya mereka ga punya Ami sama Abi, Qil.."

Aqilla    : "Ami Abi-nya kerja?"

Ami       : *Mikir lagi* "Bukaaan.. Ami Abi-nya pergi ninggalin Kakaknya. Jadi, Kakaknya sendirian.."

Aqilla    : *Nunjukin mimik sok-ngerti* "Oooohh.."

Ami      : "Iya.. makannya Qilla bersyukur sama Allah udah dikasih Ami sama Abi.. Jadi Qilla boboknya ga di jalan.."

Aqilla   : "Qilla bobonya di kamal, ya?"

Ami     : 'Iyaaa.. Jadi Aqilla bersyukur, bilang 'Makasih ya Allah udah kasih Ami sama Abi.'.."

Aqilla  : "Iyaaa.. sama-samaaaa..."

Ami    : "Qillaaaa itu maksudnya bilang makasih ke Allah, kenapa malah dijawab 'sama-sama'" -_-"

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dan datanglah masa dimana anak mulai bertanya banyak hal. Sampe hal yang bikin Emaknya pengen kayang bolak balik karna bingung mau jawab apa. :P

Aqilla  : "Ami, suara kucing gimana?"

Ami     : "Miiiioooooongggg"

Aqilla  : "Iiiyaaaaa.. Kalo suara Kodok?"

Ami     : "Webeeeekkk Weeebeeekk"

Aqilla   : "Suara bulung?"

Ami     : "Cit cit cuit cit ciiiittt.."

Aqilla   : "Suara ulat?"

Ami      : *mikir*

Aqilla   : "Suara semut?"

Ami      : *berpikir keras*

Aqilla   : "Kalo suara daun, Ami? Suara bunga? Suara awan? Suara pohon?"

Ami      : "Enggg.."

Aqilla   : "Suara batu? Suara matahali? Suara bulan? Suara kulkas? Suara jalanan?"

Ami      : *pingsan*

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ah ya, saya cintaaaaaaaaaaaaa sekali punya anak perempuan! :*
 
 

 



 

#3.64

Jelang kelulusan, beberapa anak malah makin sering wara wiri di sekolah. Siapa lagi kalau bukan mereka yang dulu aktif jadi pejabat sekolah? Akhir tahun, selalu penuh dengan laporan pertanggungjawaban ini itu. Sudah bukan rezim mereka sih, memang. Tapi membantu adik kelas menyelesaikan amanah mereka dengan baik hingga tuntas, ga ada salahnya juga kan? Ya, hitung-hitung kumpulin pahala supaya bisa lancar lulus UN dan SPMB kelak.

"Kita bagi tugas kalo gitu ya.. Saya bakal pilih masing-masing kalian buat supervisi anak-anak OSIS ngerjain LPJnya," Dhama, Ketua OSIS zaman Rei, membuka rapat hari itu.

Semua angguk-angguk. Cuma segelintir yang serius mencatat.

"Saya bakal kordinasi langsung sama Fajar, sebagai sesama ketua OSIS. Selebihnya BPH inti, supervisi adik-adik yang pegang jabatan kalian sekarang ya."

Rei tersenyum, itu berarti dia akan pegang supervisi untuk jabatan Bendahara Umum. Ia memutar badan menghadap Anggi, wakil bendaharanya. Membuat gesture seakan berkata, "Nggi, kita kerja bareng lagi ya!"

Dhama melanjutkan, "Tapi buat jabatan BPH yang ada wakil, bakal gw pecah ya. Soalnya butuh bantuan banyak untuk komisi bawah."

Beberapa suara "yahhhhh" terdengar di sana-sini. Maklum, kabinet OSIS Dhama memang terkenal strategis dan solid. Untuk mereka yang ada di satu jabatan, chemistry nya kuat. Terkadang suka terbawa sampai OSIS berakhir. 

"Jadi buat sekretaris umum dan bendahara umum, wakil kalian gw delegasi ke bawah ya." Dhama melirik Langit dan Rei, pemilik kedua jabatan. "Jadi Anggi sama Nova, tolong bantu komisi olahraga."

Mata Rei tidak sengaja beradu dengan Langit saat Dhama menunjuk mereka. Cepat-cepat, Rei menunduk. Pura-pura asyik dengan buku catatannya.

"Oh ya, karena tahun ini format LPJnya dirubah sama MPK. Jadi laporan keuangan mesti integrated sama tiap kegiatan OSIS yang diadain," ujar Dhama sembari tangannya menulisi papan tulis hitam di depan kelas.

Rei memicingkan mata, perasaannya mulai tak enak.

Selesai menulis, Dhama kembali menghadap kelas. Tangannya mengibas bekas kapur di sela jari, "Rei, tolong kerja bareng Langit ya?"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Rapat sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Tapi Rei masih disana. Matanya menekuri laporan keuangan OSIS yang baru. Di sebelahnya ada beberapa adik kelas yang juga sibuk mengelompokkan beratus lembar kuitansi.

"Kak Rei, kita gak bareng sama sekum aja kerjanya?" salah seorang adik bertanya.

Rei menengok sedikit. Tidak jauh dari mereka, ada beberapa bangku yang tersusun melingkar. Langit dan beberapa adik kelas duduk disana.

"Nggak perlu bareng kok. Saya bantuin kalian di jurnal pembalik aja ya. Abis itu, kalian kordinasi langsung sama anak-anak sekum. Tinggal nyocokin tanggal acara dan kuitansi aja, kok," ujar Rei cuek. "Nih, jurnal pembalik bulan Januarinya. Kasih ke sana dulu," Rei menyerahkan secarik kertas besar.

Tidak lama pekerjaan mereka selesai. Satu persatu pamit pulang, begitu pun Rei. Harusnya sudah pulang sejak satu jam yang lalu, sesuai janjinya pada Ibu. Tapi Rei tidak enak hati kalau mesti pulang lebih dulu. Bagaimanapun, tugas yang diberikan Dhama untuk mensupervisi adalah amanah.

"Rei?"

Yang disebut namanya, berhenti memasukkan buku ke dalam tas.

"Kenapa harus lewat perantara ngasih jurnal pembaliknya? Gak bisa ya, sekedar ngasih sendiri ke saya?" Langit bertanya datar.

"Gak bisa ya, sekedar saya titip aja jurnal pembaliknya lewat orang?"

"Tapi kamu bisa kasih sendiri ke saya Rei, ya kan?" ada nada yang meninggi.

Rei menahan kesal-tangisnya, "Harus ya?"

"Saya mau kamu yang kasih langsung. Bukan orang lain."

Rei menoleh ke beberapa adik kelas yang masih ada di sekitar mereka. Ekspresi aneh-ingin-tahu yang muncul di wajah mereka. Okey, jadi setelah enam bulan gosip ini mereda, harus muncul lagi di depan adik kelas? Maksud Langit apa sih?!

"Buat saya, itu gak urgent." Rei menarik tasnya, lalu beranjak pergi keluar kelas.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Akhir Maret 2007.

Sudah kedelapan kalinya, telepon genggam Rei berbunyi. Cukup berisik, sampai harus Rei ubah ke profil silent agar seisi rumah tidak bertanya. Jangankan diangkat, ditengok saja Rei enggan. Nomor tak bernama itu sering sekali muncul di hpnya akhir-akhir ini. Tidak bernama memang, tapi memori Rei mencatat rapi siapa nama pemiliknya. Langit. Ya, hari H LPJ OSIS memang makin dekat. Kordinasi mereka seharusnya makin rapat. Tapi berkali Rei berkelit untuk melakukan kontak yang hanya melibatkan mereka berdua. Tidak, Rei tidak percaya hatinya sudah sekuat itu.

Panggilan kesembilan, akhirnya Rei angkat juga.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam. Kenapa baru diangkat sih?"

"Kenapa harus telpon sih?"

"Saya mau ngomongin LPJ, Rei."

"Besok juga rapat, Langit. Ga perlu telpon juga bisa," Rei menjaga agar nada suaranya tetap normal.

"Ini harus diomongin sebelum rapat. Ada kesalahan kuitansi di bulan Juni. Tolong kamu cek lagi di jurnal. Jangan sampe laporan kita salah besok."

"Oh, ya udah. Nanti saya cek."

"........."

"Halo, Langit? Udah kan ya? Saya tutup telponnya kalo gitu ya."

Lama tak terdengar jawab. Rei berusaha keras menjaga hatinya tetap netral.

"Langit? Udah ya, saya tutup dul..."

"Rei?" akhirnya ada sahutan.

"Ya?"

"Kamu, apa kabar?" 

Rei tercekat, situasi seperti ini yang ia hindari. Tidakkah Langit tahu, Rei sudah terbiasa tidak mengkhawatirkan kabarnya? mempertanyakan keadaanya?

"Saya baik, Langit. Dan akan lebih baik kalau tidak kamu telpon lagi."

Kecewa disana, "Kamu benci saya sebegitunya ya, Rei?"

"Langit, gak usah diterusin.."

"Saya cuma ingin tahu kabar kamu," Langit menjeda. "Saya.. rin-du.."

"Langit, kamu gak tahu ya susah payahnya saya melupakan kamu enam bulan ini?" isak Rei mulai tak tertahan. "Saya belajar lupa sama kamu. Belajar menghapus nomor kamu di hp saya. Saya belajar untuk tidak menanyakan kabar kamu. Saya bahkan sampai di titik lupa dengan janji delapan tahun itu. Langit, saya belajar. Dan saat saya sudah ada di keadaan ini, kamu tega menghancurkan semuanya lagi?" 

"Kamu gak ingin saya hubungi lagi?" Langit bertanya, ragu.

"Saya bahkan ga ingin kamu muncul lagi, Langit." 

"Kamu ingin saya pergi?"

Rei bisa merasakan pipinya mulai basah.

"Tolong bantu saya, Langit. Bantu dengan pergi dari hidup saya."

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 








Tentang Kamu

Ya, ini tentang kamu. Kamu yang sedari dulu, gak pernah berubah. Bahkan sampai sekarang pun tidak.
Ini tentang kamu. Yang tidak pernah ku mengerti jalan pikirannya. Setidak mengerti aku saat beberapa tahun lalu, langkahmu mendekat lalu bertanya, "Jadi calon istri saya, ya?" Lihat, bahkan tanya mu pun bukan bentuk tanya. Ah ya, aku memang tidak pernah bisa mengerti utuh apa yang ada di kepalamu.

Tapi ini tentang kamu. Ya, kamu yang sedari dulu paham betul di mana rapuhku. Dimana titik lemahku. Mungkin disini yang salah, saat luka-luka itu kubagi denganmu. Lalu, -alih alih- aku yang sedih, malah empati kamu yang kelewat dalam. Mungkinkah itu alasanmu ketika itu, "Aku ingin jaga kamu dari semua kesakitan itu." Dan tahukah? Kamu gak ingkar janji. Kamu benar-benar menjagaku sampai detik ini.

Tentang kamu. Dan kesabaranmu. Bukankah aku yang lebih sering pergi? Juga yang paling sering berlari? Bahkan tak jarang menolak untuk menoleh ke belakang barang sesaat. Padahal aku tahu persis kamu jatuh. Kaki mu berdarah. Jalan mu terseok. Nggak, aku menolak lihat. menolak ingat. Bahkan seringnya marah ketika dengan semua luka berdebu itu, kamu tetap sampai mengejarku.

Hey kamu, yang namanya tercetak tebal di memori terdalam yang berkali ku kikis sedemikian rupa. Kamu yang gak pernah pergi dan tetap disini. Kamu yang gak bergerak sama sekali. Sudah berapa kali kamu ku angkat untuk kemudian ku jatuhkan kembali? Siklus yang ku kira cukup menyakitkan untuk membuatmu pergi. Tapi tidak, aku selalu gagal. Karena kamu tetap disana, dengan senyum-cengiran yang sama. Tahukah? belum ada yang mampu saingi sabarmu hingga kini.

Kamu, yang sedia merentang tangan seluasnya. "Go get it, Dek..," Bahkan dengan keadaan kamu tahu pasti, mungkin aku gak akan kembali. Tapi yakin mu selalu penuh. Membuatku tenang berlari kemana angin membawa. Untuk kemudian merasakan sengatnya panas mentari dan gigilnya hujan badai. Lalu pulang, dan kamu sedia di sana dengan selimut dan pelukan hangat. Di situ aku tahu pasti, "Kamu akan jadi seseorang untuk dunia-akhirat ku."

Untuk kamu yang menunggu entah berapa tahun. Dan implisitmu sering berkata, "I have died everyday, waiting for you.." Gak jera ya? Walaupun sering ku remehkan caramu memilihku. Gak ada kriteria. Gak ada prasyarat. Keyakinan, begitu katamu ya? Maka terimakasih, Cinta.. karena yakinmu yang membawaku pada keadaan maha membahagiakan saat ini.

Lalu kamu yang sering sekali ku uji coba batas kesabarannya. Berulang. Berulang. Berulang, hingga kini belum ada satupun kalimatmu yang ku kategorikan sebagai amarah. Tahu apa kesimpulan yang ku dapat? Sabarmu memang tak terbatas.

Kamu, lelaki yang ku terima dengan ridha sebagai imam, pemimpin, motivator, sekaligus navigator dunia akhirat-ku. Kamu, lelaki yang ku percaya untuk menjadi Ayah dari anak-anak ku. Kamu, lelaki yang ku sebut namanya dalam doa pagi-malam ku.

Kamu, Lelaki  yang tak pernah ingkar janji. Sepenggal bait yang kau kirim dulu, masih ingat?

I give you my world
I give you my heart
This is the battle we won
Till the day my life is through,
this I promise you..

Ah, Lelaki langit.. kamu gak pernah ingkar janji.. Ini memang pertempuran yang telah dan akan kita menangkan bersama. Untuk semua perjalanan ini: mentari, hujan, dan pelangi. Apa yang lebih indah selain tahu bahwa kamu selalu ada di sana? Menepuk bahuku untuk kemudian berkata, "Sudah cukup, Sayang.." dan memang hanya kamu yang bisa. Cuma kamu.


Lelaki Langit.. aku cinta kamu, sudahkah ku mengatakannya?



#3.9

Ini gila, Rei mengumpat dalam hati. Ada kebahagiaan yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Tinggal sejengkal, jika saja Rei mau menggapainya.

Tapi tidak, dan ini sungguh gila.  Rei berkelindan dengan dirinya, saat memutuskan menangguh prosesnya dengan Langit.

"Saya belum yakin, Langit. Saya minta semua ini di-pending dulu," sepatah kalimat itu ia kirimkan pada lelaki yang selama ini menumbuhkan yakin dalam hatinya. dalam hidupnya.

Yakin? Ah Rei, konstruk itu kini mengabur dalam kepalanya, menguap entah-kemana. Padahal Langitnya masih yang dulu. Langit yang penyayang. Langit yang bertanggungjawab. Langit yang pemberani. Langit yang berani melamarnya di tahun terakhir kuliah.

Tidak ada hal yang berubah dalam keyakinannya, padahal. Penuhnya masih seperti dulu. Tak ada surut sedikitpun bahwa lelaki ini yang akan jadi seseorang dalam dunia-akhiratnya. Hanya saja ada yang mengganjal di sudut tergelap hatinya. Bukan, bukan keraguan pada sosok Langit.

Tentang Tangguh? Ah-ya, Rei merasa bodoh sendiri saat menemu bahwa Tangguh-lah yang jadi ganjalan itu. Bodoh, sebab yang terjadi antara mereka, jauh lebih absurd dibanding hubungannya dengan Langit. Bodoh, sebab tanya Rei tak pernah menemu jawab. Semua akan sederhana jika saja Rei adalah seorang laki-laki, norma sosial lebih membuka ruang untuk bertanya, untuk meminta. Tapi perempuan? Rei cuma bisa menunggu berhari-hari, berbulan-bulan. Mencoba menerka apa yang lebih dari interaksi mereka. Belum lagi ucapan sana-sini yang mengafirmasi perasaannya, "Tangguh suka sama lo lagi, Rei, masa' lo ga tau sih?" Getir, semua orang nampaknya tahu pasti perasaan Tangguh kepadanya. Semua orang, kecuali dirinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Sudah dua pekan sejak lamaran Langit ia indahkan. Tentu, tak bisa berlama-lama, bagaimanapun Langit punya hak untuk bahagia. Punya hak untuk mendapat jawaban pasti darinya.

2 Juni 2009.

Ada yang harus selesai di hari ini. Rei belum juga memberi jawaban. Langit masih menunggu.
Ada istikharah yang berkali-kali dilakukan. Allah.., Rei butuh ketenangan...

3 Juni 2009.

Pagi yang campur aduk. Untuk ketiga kalinya, siluet itu muncul dalam mimpinya. Tangguh.
Dan Rei masih belum (berani) menemukan jawab atas tanyanya.

4 Juni 2009.

Rei merutuki dirinya berhari-hari, kenapa begitu sulit untuk sekedar bertanya tentang kepastian? Padahal jelas ia dan Tangguh berbagi cerita setiap hari. Menyelipkan tanya di sela canda, apa susahnya?

5 Juni 2009.

Kita seperti dua garis rel,
bersama tapi tidak pernah bertemu
(Sitok S.)

Rei sudah sampai di titik akhirnya. Satu pesan terkirim,

"Asslm. Ka, menurut Kakak format undangan yang bagus itu seperti apa?"

terkirim: Kak Tangguh

Berbalas,

"Wal.wr.wb. Wahhhh, gw seneng nih kalo adik gw udah mulai ngomongin undangan."

Rei tercekat, tidakkah Tangguh membaca sms darinya berbunyi implisit,
"Ka, kalo gw nikah, perasaan lo gimana?"

Rei meneruskan pencariannya,

"Loh, kok seneng, Ka?"

terkirim: Kak Tangguh

Tak lama masuk,

"Iyalah.. masa' gw gak seneng. Kalo lo udah ngomongin undangan, berarti rencana nikah lo udah serius kan sama si Langit. Gimana gw gak seneng."

Tes... ada satu titik air yang turun. Rei mempercepat jalannya menuju halte, tempat ia biasa menunggu bus pulang kuliah. Tak ada satu intensi pun untuk membalas, Rei kira ia sudah sampai pada jawaban sampai tetiba,

Drrrrtttt.. Drrrrt....

Hpnya bergetar berkali-kali, nama "Kak Tangguh" muncul disana.

"Assalamu'alaykum, halo Kak?"

"Wa'alaykumussalam. Rei, tunggu dulu Rei!"

ada harap yang muncul, "Tunggu? tunggu apa, Kak?"

"Kamu lagi jalan kan,? berhenti dulu!. berhenti!"

"Ha? emang Kakak dimana?"

"Aku dibelakang kamu, Rei. Tadi ngelewatin Barel kan? Tunggu dulu! Tunggu!"

Rei mendadak berhenti. Ada yang tumbuh di hatinya: harapan. Mungkin pesan tadi bukanlah jawaban. Mungkin disini ia akan mendapat jawaban.

Satu sosok berlari menghampirinya, terengah-engah. "Ya ampun, Rei. Tadi aku lari-lari ngejar kamu dari Barel. Takut kamu keburu naik bus." 

"Masyaallah, Kakak.. Maafin doong.. Abisan saya gak tahu kalo Kakak manggil. Lagian hape dari tadi di dalem tas, jadi gak gitu kedengeran," ujar Rei tersenyum.

Tangguh mengatur napas, "Iya Rei, aku mau kasih tahu sesuatu."

Perut Rei serasa dipenuhi jutaan kupu-kupu, hampir seluruh dirinya berharap Tangguh akan memberi pernyataan yang selama ini ditunggunya. Pertanyaan yang akan mengafirmasi seluruh perasaannya.

"Ada apa, Kak memangnya?"

"Itu.. Tadi ada temen aku di Barel. Dia bawa banyak contoh format undangnya. Rei bisa lihat sekarang, kalau kamu mau."

Mata Rei perih seketika, sensasi jutaan kupu-kupu hilang entah-kemana.
"Oh, nggak Kak. Gak usah. Nanti saya cari aja percetakan undangan dekat rumah,"

Rei diam.
Tangguh diam.

"Maaf Kak, bus nya udah dateng. Saya duluan ya, Assalamu'alaykum..," bersicepat Rei menghentikan bus, lalu menaikinya. Terburu-buru.

Bus bergerak pergi.
Tangguh (masih) diam.


"Assalamu'alaykum," sapa suara di seberang sana.

Rei menyamankan duduknya, "Wa'alaykumussalam."

"Dimana?"

"Di dalam bus. Baru aja naik, ini mau jalan pulang."

"Hati-hati ya, Rei."

Rei tersenyum menengahi air matanya yang masih turun.

"Engg.. Langit?"

"Ya, Rei, kenapa?"

"Pekan depan bisa atur waktu untuk ketemu Ayah Ibu?"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





  






#3.63

And I will take, you in my arms
And hold you right where you belong
'Till the day my life is through, this I promise you
This I promise you..

Celah Langit

Langit tidak pernah benar-benar tahu, kenapa ia begitu mencintai gadis ini. Melihatnya selalu membuatnya gila. Berinteraksi adalah candu. Langit cuma tahu indranya hilang sekejap tiap gadis ini bersamanya. Penglihatannya kabur, pendengarannya melemah. Semua hal di sekitarnya memuai, dan tiba-tiba hanya ada gadis ini di dunia. Tidak kurang, tidak lebih.

Seperti gaya gravitasi yang menarik semua benda untuk berpijak ke bumi. Gadis ini adalah pusatnya. Buat ia, Langit akan berubah seperti apa yang dibutuhkan. Menjadi pelindung, menjadi kakak, menjadi teman, menjadi sahabat. Bersamanya, Langit merasa bisa rapi menata hidupnya. Menyusun rencana masa depannya. Vice versa, ketika hilang harapan tentangnya, Langit sesak seakan ada fase malam yang tak kunjung selesai. Seakan mataharinya esok terbit dari barat. Sungguh perasaan yang menyiksa.

Kenapa Rei? Langit tak pernah benar-benar tahu. Berinteraksi saja jarang. Rei dan Langit berada di lingkungan sosial yang berbeda. Rei yang ekstrovert, dunianya berputar ke seluruh penjuru. Siapa yang tidak kenal Rei? Rei yang juara kelas, Rei yang menang lomba debat, Rei yang ketua teater, Rei yang banyak senyum, Rei yang disayangi banyak orang. Langit yang introvert, lebih banyak berdiam di zona nyamannya. Walau tetap, siapa yang tidak kenal Langit? Langit yang ketua kelas, Langit yang calon ketua OSIS, Langit yang berani memprotes kepala sekolah.

Ia dan gadis itu bahkan tidak pernah berinteraksi kecuali saat belajar di kelas.

Tapi seperti itulah kerja misterius bernama takdir.
Langit cuma tahu pijakannya tiba-tiba runtuh di hari pertama gadis itu memakai jilbab. Rei yang selama ini tak masuk dalam dunianya, mendadak menjadi hujan. menjadi mentari. menjadi pelangi.

"Kamu tuh ngaco, Langit.. Masa nentuin calon istri cuma dalam 3 hari!" begitu Rei kerap memarahinya, tiap Langit menanyai urusan delapan-tahun-lagi itu.

Langit cuma bisa tertawa. Mau berargumen apa? Ia juga tidak tahu iblis mana yang membisiki hatinya untuk 'melamar' gadis itu di hari ketiganya memakai jilbab. Langit cuma tahu, ada satu wajah yang kerap muncul di pelupuk matanya. Ada satu nada suara yang menjadi akrab bagi telinganya. Ada satu rasa takut kehilangan yang bertambah tiap kali melihatnya.

Gadis itu. Rei, namanya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 




 

#3.62

Sudah 5 bulan sebelum hari SPMB tiba.
4 bulan sebelum Ujian Nasional dimulai.
3 bulan sebelum hari-hari dipenuhi dengan berbagai tryout dan simulasi tes.
2 bulan. Sudah 2 bulan setelah terakhir kali Rei berbincang langsung dengan Langit.

Februari akhir 2007.

Siang itu amat terik. Bel istirahat yang berbunyi bahkan tidak mampu memancarkan kebahagiaan di wajah para murid, terlebih murid-murid kelas XII. Ya, bagaimana bisa bahagia kalau tiap hari mereka dibekali PR bertumpuk? Belum lagi penambahan materi tiap pulang sekolah, juga bimbingan belajar bagi sebagian mereka yang mampu.

Rei memasuki ruang OSIS.

"Kak Rei, disini!" panggil salah seorang adik kelas, di sebelahnya berjajar BPH inti OSIS yang baru.

Rei tersenyum, duduk mendekat. "Oke, langsung aja ya? Ini berkas keuangan OSIS tahun saya. Semua udah lengkap, insyaallah gak ada yang salah hitung. Pokoknya tinggal ikutin aja alurnya ya." ia mendorong sebuku besar ke tengah meja.

"Iya Kak, makasih ya.." Mereka kemudian berbincang sebentar sampai akhirnya Rei pamit pergi. Baru saja Rei berbalik menuju pintu, telinganya menangkap satu suara yang familiar.

"Dit, gw cariin dari tadi juga. Buruan, syuro' rohis di mushola ikhwan. Udah ditungguin tuh," Langit masuk ke dalam, mendekati orang yang bernama Adit itu.

Adit menanggapi, "Oh iya, afwan Ngit. Tadi ane ngetik surat perizinan dulu, biar dikasih sekalian pas syuro." kemudian ia keluar mendahului Langit. 

Rei masih diam. Kakinya terasa berat sedari tadi. Seperti ada paku yang dipasang erat di sekujur alas kakinya. Ia tahu, harusnya ia keluar ruang OSIS dari tadi. Harusnya ia keluar saja sejak awal Langit masuk ke dalam. Harusnya ia tidak perlu berdiam menunggu Langit menyelesaikan urusannya. Harusnya ia menunduk, tak perlu menatap Langit yang sekarang berdiri di hadapannya. Harusnya matanya tidak terasa perih sekarang. Harusnya... Harusnya...

Langit masih diam, saat Rei bergegas pergi melewatinya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Rei, Rei kenapa?" tanya Una lembut ketika tiba-tiba sahabatnya ini menghampirinya dengan mata kaca.

Rei masih terisak, mendekap Una lebih kuat, "Aku gak kuat, Una.. Aku gak kuat.. Padahal tadi kami cuma papasan nggak sengaja.. Tapi aku nggak kuat.."

Una menghela napas, "Langit ya?"

Rei mengangguk. Diam-diam ia membenci dirinya, sudah dua bulan sejak nama itu tidak lagi disebut dalam hidupnya. Terlebih dengan Una. Rei malu, urusan hatinya belum selesai juga.

"Rei.. nangis aja ya, sampai puas," Una mencoba memberi saran. "Tapi setelah ini, semua selesai."

Rei makin terisak. Bulir-bulirnya pecah tak beraturan. Ya, semua (harusnya) sudah selesai.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

#3.61

Siang yang ramai. Lapangan dipenuhi murid-murid yang berebut ingin pulang lebih dulu. Walaupun sebagian dari mereka nampaknya senang berlama-lama di sekolah, mengikut iekskul, mengurus kepanitiaan, pengajian, ini-lah, itu-lah.

Salah satunya Rei.

"Nyariin siapa, Rei?" Una tiba-tiba muncul, mengagetkan.

Rei, matanya masih mencari-cari, "Nggak, Un.. Gak nyari siapa-siapa kok.."

"Lah itu mata kamu kemana-mana dari tadi. Emang aku gak perhatiin?"

"Engg... itu Un.. cari..."

"Hahahaha.. Gw tau! Lo nyari Langit, ya Rei?" tetiba Una terbahak disebelahnya.

Rei memicing, "Nggaaaakk!! Gw gak nyariin dia, Unaa!!"

"Lah jadi nyariin siapa?"

"Ihhh, Una..," Rei memelankan suaranya, "Gw kan cuma penasaran, kenapa dia gak ke kelas gw pagi ini.."

"Hhahaha.. Reiiii.. Kamu udah mulai nyariin Langit ya sekarang. Huahahahaha," Una tidak bisa menahan tawanya.

Wajah Rei memerah, diam-diam bertanya pada hatinya, "Iya ya.. Ngapain juga pake nyariin Langit segala.."

Rei tidak sadar, beberapa meter dari mereka ada sepasang mata yang memperhatikan. Mata yang sedari tadi tersenyum melihat wajah cemasnya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Agustus 2006.

"Ini serius ya, Rei. Aku mau masuk FKUI selepas lulus nanti. Kuliah kan 4 tahun, ditambah ambil spesialis 2 tahun. Kalo ditambah sama 2 tahun SMA kita, jadi pas 8 tahun kan..," 

Langit dan Rei, keduanya sedang berada di salah satu perhelatan besar OSIS. Acaranya di Tugu Proklamasi, sedari tadi keduanya sibuk patroli sana-sini. Menjadi pengawas karena BPH (Badan Pengurus Harian) inti. Dan seperti biasa, Langit membuntuti Rei kemana-mana.

"Ya ya ya ya, masuk aja ke FKUI, Ngit.." Rei menjawab sekedarnya sambil sibuk membuat catatan.

Langit menatap gadis itu lurus, "Rei, saya serius."

Rei menghentikan kegiatan mencatatnya, walau tetap matanya menunduk.

"Rei, kamu nggak anggep semua ini serius ya?" Nada Langit meninggi.

"Kamu kira saya main-main, minta kamu jadi istri saya 8 tahun lagi?" 

"Rei!" Langit sedikit membentak. Gadis di depannya mulai bergetar.

"Saya harus anggap kamu seserius apa, Langit?" Rei memulai jawabannya, "Kita masih SMA. Lulus PTN aja belum tentu. Bahkan lulus SMA aja belum pasti. Kamu selalu bilang 8 tahun-8 tahun, kalau memang 8 tahun lagi, kenapa harus sekarang? Kamu bahkan masih punya 7 tahun buat ketemu yang lain.."

"Nggak. Saya nggak bisa nunggu, Rei."
Langit pergi, Rei cuma tertegun mencoba mencerna semuanya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Desember 2006.

“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya" (dalam cerpen Linguae, Linguae, Gramedia, 2007)” 


"Kuliah nanti, kamu mau ambil apa?" tanya Langit kepada Rei, saat keduanya (kebetulan) dapat jadwal piket OSIS bersamaan.

"Psikologi," jawab Rei pendek.

"UI ya, Rei?"

"Emmm.. tergantung, kamu maunya FK UI kan ya?"

"Iya."

"Kalo gitu saya mau ke UGM aja deh, ha ha ha.."

"Yahhhh.. kok UGM sih, " ada nada kecewa.

"Iya, biar jauh dari kamu! Weeee..," Rei membunyikan tawa khasnya. Langit tersenyum, sungguh gadis ini membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

Langit dan Rei, sudah sebulan ini keduanya terjebak dalam hubungan aneh. Ada pernyataan memang, tapi Rei tidak pernah memberi jawaban. Semua menjadi absurd seiring dengan kekakuan yang mencair diantara mereka. Rei sudah jarang lagi marah, sedang Langit makin sering datang ke kelasnya. Tidak pernah jalan berdua memang, tetapi melihat kedua makhluk ini berinteraksi, siapapun bisa menebak ada sesuatu yang lebih. Meski itu tak pernah terdefinisikan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Januari 2007. 

"Kamu punya pikiran sama denganku?" Lelaki itu berucap patah-patah. Seolah kalimat itu bukan miliknya.

Gadis di seberang sana terisak. Pelan, "I-ya.. aku juga.. sudah lama sebenarnya, tapi.."

"Aku yang salah, harusnya nggak aku mulai semua ini..," suara Lelaki itu ikut bergetar. Entah kenapa tentang gadis ini, ia selalu rapuh.

"Kita salah.. Ya Allah, Langit.. harusnya aku ga nanggepin semua ini..," tidak tahan lagi, tangis Rei pecah.

Langit makin teriris, "Nggak Rei, aku yang salah. Kamu benar, harusnya aku nggak perlu memulai ini dari awal, harusnya..," Langit tercekat, sekelibat memori muncul di kepalanya. Saat sahabat-sahabat terbaik mengingatkan, interaksi Rei dan Langit mulai kelewat batas. Mereka adalah salah satu aset terbaik rohis. Melakukan hal buruk, berarti memberi contoh dan kelegalan yang buruk pula.

"Bisa kita selesaikan semuanya, Rei?" 

masih terisak.

"Rei? Ya-ampun, jangan nangis Rei, saya gak kuat dengernya.."

"Memang harus selesai.. Langit, semuanya harus selesai.." Rei menjawab patah-patah.

"Rei, saya minta maaf.."

"Ya..."

"Kalau begitu, kita sudahi semua..," Langit merasakan sesak naik ke dadanya. "Terimakasih, Rei.. saya minta maaf.."

Klik! Telpon terputus, meninggalkan Rei yang masih terisak.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





#3.6

"Langit, nih rincian anggaran dana OSIS buat LPJ tengah tahun, " Rei menyerahkan sebundel dokumen ke depan seorang lelaki yang tengah serius dengan komputernya.

Langit menengadah, "Eh, ada calon istri! Makasih ya... Gitu dong, istri kan kerjanya harus cepet," ujarnya dengan mata jenaka.

Kawan-kawan seruangan OSIS tertawa bersamaan.

"Grrrr.. Calon istri-calon istri, apa-apaan ih! Ga usah ngaku-ngaku deh!" Rei memandang dongkol lelaki dihadapannya yang masih cengangas-cengenges. Oh-ya-ampun, permainan "calon istri-calon suami" itu sungguh menyebalkan baginya. Lagian, buat apa sih Langit meledeknya di ruangan OSIS? Belum cukup sindiran kakak-kakak rohis kemarin siang? Belum cukup ledekan adik-adik mentor untuk mereka berdua? Hah? Hah?!

Mengkal, Rei berjalan keluar. Di belakangnya masih terdengar tawa-tawa geli tak beraturan milik teman-teman OSISnya.

"Rei! Hoi, Rei! Tunggu dulu!" 

Rei berhenti, membalik badannya dengan malas, "Apalagi, Langit? Lo itu ya, nyebelin banget sih?!"

"Aku cuma mau tanya masalah kemarin..," Langit membuka percakapan.

"Masalah yang mana lagi, sih?" tanya Rei kesal. Ujung matanya menangkap beberapa teman yang melintas, sedang memperhatikan mereka. "Buruan deh mau ngomong apa. Ga enak dilihat sama yang lain."

"Pertanyaan saya kemarin Rei, jadi calon istri saya ya?"

"Haduh, Langit.. kita aja sekarang baru kelas 2 SMA. Kamu minta saya jadi istri 8 tahun lagi ya kan? Ya udahhhh.. nanti-nanti aja deh ditanya lagi saya nya.."

"Tapi saya serius, Rei.."

"Gw juga, Ngit.. Gw serius. 8 tahun itu masih lama. Bahkan gw sendiri ga kebayang bakal kayak apa 8 tahun ke depan. Kenapa harus sekarang sih ngelamarnya?" Rei berjengit sendiri mendengar kata "lamaran" keluar dari mulutnya.

Langit melipat kedua tangannya, "Abis gimana ya, Rei. Kamu itu udah saya masukin ke planning hidup saya. Kalo kamu ga mau, berantakan dong rencana masa depan saya."

"Itu urusan kamu! Udah ah, gw mau masuk kelas dulu," Rei berbalik lantas berlari kecil menuju kelasnya. Sayup-sayup telinganya mendengar sesuatu, kalimat sapa yang sudah dua hari belakangan ini selalu diucapkan Langit tiap mereka berpisah,

"Calon istriiiiii, hati-hati yaaa!"

Arrggghhhhhh... Langiiiiittt!!!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Juli, 2006.

"Rei, kamu sama Langit jadian ya?"  

Rei diam, nampak pucat. Yang bertanya namanya Una, sahabat terdekat Rei. Una ini adalah salah seorang petinggi rohis. Jadi, literally, Rei tidak tahu, Una bertanya atas nama dirinya atau atas nama rohis. Tidak berani menebak, lebih tepatnya.

Rei bisa merasakan lidahnya mulai kelu, "Nggak, Unaaa.. Una denger dari siapa sih? Dari anak-anak OSIS ya? Ah, itu mah bisa-bisanya si Langit aja, Un.."

"Yahh Rei, sama aku masih mau ga jujur juga. Tiap pagi Langit dateng ke kelas kamu, kan? Kalo kayak gitu, siapa juga yang ga bisa lihat?" Una nyengir, diam-diam Rei lega karena nampaknya Una bertanya atas nama dirinya sendiri.

Ah-ya, sudah dua bulan ini Langit memang rutin datang ke kelasnya tiap pagi. Sengaja memutar, padahal jelas-jelas rute kelas Langit dan Rei berlawanan arah. Tiap pagi itu juga, Rei mulai terbiasa dengan senyum dan suara khas yang mengatakan, "Selamat pagi, calon istri!"

Rei menggeleng, "Nggak Una, aku udah cerita kan becandaan Langit soal delapan tahun-delapan tahunan itu? Ngaco emang tuh si Langit.."

Una tersenyum, tangannya sibuk merapihkan buku-buku ke rak perpustakaan masjid, "Ngaco memang ya si Langit, Rei, Tapi kamunya suka?"

Mendadak, Rei merasa lidahnya berkali-kali lipat lebih kelu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(masih) Juli 2006.

Ada yang aneh hari ini.

Rei berulang kali memeriksa isi tas-nya. Apakah buku? Atau PR yang belum dikerjakan? Atau ada ujian yang ia lupakan? Ia cek sekali lagi, tidak. tidak ada yang tertinggal. Lalu Rei mencoba ingat rutinitas paginya. Tidak, tidak ada shalat shubuh yang kesiangan. Bahkan dhuha sudah ia lakukan sesampainya di sekolah tadi. Dzikir pagi pun sudah diselesaikan. Lalu apa? Apa yang salah hari ini?

Rei memandang sekeliling kelasnya, mencoba mencari-cari lagi perihal yang membuat hatinya begitu tak tenang pagi ini. Siapa tau ada tugas-ketua-kelasnya yang belum diselesaikan. Buku absensi? Lapor piket? seingat Rei sudah semua. Udah kok, udah beres semua.., Rei membatin menenangkan dirinya.

Melirik jam di dinding depan kelas, Rei makin tak tenang. Lima menit sebelum bel masuk, dan Rei belum menemukan apa yang membuat hatinya terganjal pagi ini. Apa? Siapa?

Teeeeet! Teeeeeet! 
Resmi bel masuk berbunyi, kelas langsung dipenuhi dengan murid.
Hati Rei mencelos, ia menemukan apa yang aneh di hari ini.

Langit. Langit tidak datang ke kelasnya pagi ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 


Per-hati-kan: Hati-Hati Menjaga Hati

27 Sep
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
Q S Al An’aam 162


Kepada semua orang yang akhirnya menemukan tulisan ini percayalah ini bukan cerita murahan pinggir jalan. Tak pernah benar-benar terjadi, hanya ilusi. Ini benar kisahku, atau bisa jadi telah, sedang, akan menimpa kalian juga, anak-anak, cucu kalian kelak. Walau aku tak tahu akan ke siapa tulisan ini singgah, kemana ia menghempas, kapan ia tertemu, per-hati-kan pesanku: berhati-hatilah menjaga hati. Ini kisahku, tapi bisa juga jadi kisah kalian.


Tepat 9 Juni 2009, kutulis percik ini

Sudah banyak kisah ikhlas yang aku dengar, aku baca, sering bahkan. Selintas atau hingga yang membuatku terpaku, tersedu-sedu. Maklum saja aku, sebagaimana kata orang-orang adalah seorang aktivis dakwah kampus. Walaupun hakikat dari terminologi aktivis dakwah kampus itu sendiri masih tak aku mengerti, pada akhirnya lambat laun sebutan itu menjadi identitasku juga akhirnya. Identitas, kuusahakan tak sampai di level itu saja.

Kisah bunda Hajar. Belum usai letih perjalanan yang ia rasakan. Belum jua ia mampu berpikir jernih, sang lelaki mulai beranjak menjauh. Menjauh, meninggalkannya, meninggalkan mereka tepatnya. Paraunya, “Yaa.. Ibrahim, apa yang kau lakukan dengan meninggalkan kami disini?” Tidak menoleh! Suami tetap melangkah mantap. Mempercepat. Tegas. Sedikit ia keraskan suara, “Yaa.. Ibrahim, apa yang kau lakukan dengan meninggalkan kami disini?” Parau itu mencabik-cabik hati sang lelaki. Hingga langkahnya pun melamban. Hatinya dilema, terbelah dua, Allahu Rabb. Aku tiada mengerti makna perintahMu ini.. sungguh pun…

Tetapi ia, suami, tidak berhenti menjauh. Di tengah kebingungan. Padang gersang tak bertuan.Tanah tandus tak beroase. Tiada penghidupan. Hampir-hampir tiada yang mampu menjadi sumber kehidupan. Dalam kepanikan. Dalam kekhawatiran. Dalam kecemasan. “Tunggu! Suami ku, adakah ini perintah Allah?” Cukup. Hanya dengan dua kali panggilan berulang yang tak terjawab, keimanan kini mengambil alih. Menggubah kata tanya dalam serta merta. Hingga ia, sang suami pun tercekat. Berhenti ia. Memutar. “Ya, duhai istriku… ini adalah perintah Allah..”


Tak hanya narasi-narasi itu bahkan di sekelilingku, aku insyaf akan adanya ikhlas di sana sini. Tanyakan pada jantung yang senantiasa setia memompakan darah ke seluruh nadi. Bagaimana ianya rela memforsir diri bahkan di kala anggota fisik lain tengah mengistirahatkan diri. Lalu tentang hamparan bumi meluas yang tak pernah mengganti posisinya sebagai objek terpijak. Bahkan pun tiada bandingnya ketika perut diuruk, rerambut dicerabut, tulang-tulang dipatah. Tak pernah ia marah. Tak pernah. Inilah ikhlas yang aku tahu bahwa ia sejatinya adalah Sunnatullah.

Benar sesungguhnya Allah menguji keikhlasan dalam kesendirian. Kisah-kisah telah terlampau mudah dicerap, logika mencari analogi pun cerkas dalam labirin kognisiku. Namun, saat ikhlas harus membenturkan diri pada kenyataan bisakah kita, bahkan untuk hal-hal kecil, bahkan untuk hal-hal sederhana. Karena ikhlas bukan materi, bukan definisi, tak dapat diinderai, ia di sini di hati.


Tepat 8 Juni 2009, inilah yang terjadi

Kuperhatikan lagi bayangan yang terpantul pada cermin di hadapanku. Yups, sudah rapi. Aku pun segera meraih ranselku dan melangkah keluar kamar. Namun, oo, di luar mendung rupanya. Aku kembali ke kamar. Kumasukkan sebuah payung ke dalam ranselku. Ketika keluar, aku berpapasan dengan ayahku.

“Mau hujan lebat, Dik. Tetap mau pergi?” tanya ayahku.

“Iya. Udah janji soalnya, Pa.”

“Ya udah. Papa antar sampai depan.” Ayahku memutuskan.

Kami meluncur bersama vespa kesayangan. Awan gelap itu tampak sudah siap menumpahkan airnya ke bumi. Ayahku mempercepat laju vespanya. Namun, apa daya, di tiga perempat perjalanan, air hujan itu turun juga. Kami berhenti sejenak untuk mengenakan pelindung, lalu melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa menit, sampailah kami ke tujuan. Aku segera menaiki angkot yang akan membawaku ke terminal Kampung Rambutan, tempat dimana aku bisa menemukan angkot lain yang akan membawaku ke kampus UI, Depok.

Begitu duduk di angkot pertama, hujan menderas. Benar-benar deras. Angin yang kencang berputar ke sana ke mari membuat jatuhnya air menjadi tidak beraturan. Separuh isi angkot yang pintunya terbuka itu basah. Untunglah penumpangnya hanya dua, aku dan seorang pria di pojok seberang. Supir angkot ini begitu bersemangat (atau sedang kesal? Hehe). Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi sehingga tak sampai 10 menit (perjalanan normal 15 menit) kami sudah tiba di terminal.

Aku turun dan memakai payung sambil berjalan menuju angkot 19 jurusan Depok. Pelataran terminal tergenang air. Walhasil, sepatu dan bagian bawah rokku basah. Ditambah lagi, payung yang kupakai menjadi tidak banyak berpengaruh karena ia sibuk diombang-ambingkan angin. Maka, sebagian jilbabku pun ikut basah. Setelah berjalan sambil sibuk menahan payungku agar tidak terbang, aku melihat angkot itu di hadapanku. Finally!

Aku melangkah masuk dan melihat sekeliling. Di bangku panjang berkapasitas empat orang, aku melihat tempat kosong, posisi kedua dari pintu. Posisi terdekat ke pintu diduduki seorang ibu. Aku pun berjalan ke sebelah ibu tersebut.

Ketika akan duduk, sebuah paper bag berwarna pink berisi kertas-kertas yang dimasukkan ke dalam plastik fotokopi bertengger di tempat yang akan kududuki. Aku urung duduk. Bertanya ini milik siapa. Laki-laki yang menduduki posisi ketiga dari pintu hanya diam. Ah, ternyata ibu di sebelahku yang bereaksi. Ia menyentuh paper bag itu. Kupikir akan segera diambilnya, namun ternyata hanya dirapatkannya ke jendela angkot. Aku bingung. Namun, aku tidak bertanya dan memutuskan untuk duduk. Sudahlah, pikirku. Toh, tidak mengganggu dudukku. Kubiarkan paper bag itu di belakangku.

Angkot belum penuh. Itu artinya belum akan berjalan. Kuhitung-hitung berapa lama lagi kira-kira akan penuh. Tempat di samping kanan pria di sebelahku masih kosong. Satu. Bangku panjang di seberangku yang berkapasitas enam orang, baru terisi lima. Dua. Bangku kecil berkapasitas dua orang di depan pintu masih kosong. Empat. Bangku depan di samping supir penuh. Hmm… empat orang lagi.

Sedang aku menghitung-hitung, ibu di sebelahku, yang sejak tadi mengutak-atik ponsel, menyentuh pundakku. Aku menoleh. Si ibu berkata, “Adik basah nggak?” sambil meraba jilbab bagian belakangku. Awalnya aku bingung, sampai aku melihat dia menggeser paper bag itu lebih mendekat kepadanya dengan tetap disandarkan pada jendela angkot.

What? Dahiku mengernyit.

Apa maksudnya? Dia takut kertas-kertasnya basah terkena jilbabku?

Aku mulai tersinggung.

Kalau dia tidak mau kertas-kertas itu basah, kenapa tidak diambil? Dipindahkan jauh-jauh dariku?
Jelas-jelas ini tempat dudukku.

Tidak, bukan tersinggung. Kali ini aku kesal. Benar-benar kesal.
Tapi aku tidak melontarkan sepatah kata pun.

Si ibu, setelah menggeser paper bag-nya sehingga berada dalam posisi yang “aman”, kembali asyik dengan ponselnya. Aku pun berusaha mengalihkan perhatian agar kesal-ku hilang.

Beberapa menit lewat.
Kembali, si ibu menyentuh pundakku. Aku menoleh lagi. Si ibu bertanya,

“Dik, ini kalau mati gini kenapa ya? Baterainya atau karena basah ya?” ia menunjukkan ponselnya padaku. Layarnya mati kulihat.

Kawan, jujur, kau boleh katakan aku jahat, tidak sabaran, tidak menghormati orang tua, payah, atau apalah. Tapi ketika itu, ketika rasa kesal itu masih tersisa, aku tidak berminat untuk membantunya. Bahkan, terkesan tidak peduli.

Alih-alih mencoba memeriksa ponselnya, aku hanya berkata, “Saya juga nggak ngerti, Bu.” dengan nada malas.

“Nggak ngerti ya?” si ibu pasrah.
Mimiknya saat itu cukup membuatku iba. Tapi lagi-lagi aku kalah oleh amarah. Bahkan, untuk sekedar bilang “Mungkin baterainya habis, Bu.” untuk menenangkan si ibu, mulutku terasa berat.

Kawan, setan tertawa. Tapi aku tidak sadar.

Penumpang mulai berdatangan lagi. Seorang wanita berjilbab masuk. Pria di sebelahku bergeser ke pojok. Aku mengikutinya. Si ibu tetap memilih di pinggir. Otomatis wanita berjilbab itu berada di antara aku dan si ibu.

Angkot tinggal menunggu satu orang lagi. Bangku kecil di depan pintu masih kosong satu. Seorang mahasiswi menghampiri. Rupanya, salah seorang penumpang di dalam angkot yang juga berpenampilan seperti mahasiswi, sebut saja ia si baju merah, adalah temannya. Si baju merah merasa senang melihat temannya. Ia pun menyuruh temannya masuk dengan mengatakan, “Bisa, kok. Satu lagi.”

Namun, temannya itu tidak bisa duduk karena ada sebuah payung di atas bangku kecil tersebut.
Si baju merah mengerti, ia pun bertanya kepada si ibu, “Ini payung ibu ya, Bu?” tanyanya. Tentu saja dengan harapan si ibu akan memindahkannya agar temannya bisa masuk.

Namun, kau tahu apa jawaban si ibu?

“Iya. Biarin aja disitu.” Kini si baju merah yang mengernyitkan dahi.

Temannya yang tidak tahan berhujan-hujanan memutuskan untuk menaiki angkot yang dibelakang saja. Si baju merah sedikit kecawa. Namun, apa daya. Melihat itu, respekku pada si ibu semakin berkurang saja rasanya. Seorang penumpang lagi berniat masuk. Sama seperti mahasiswi pendahulunya, ia bingung karena ada payung.

Namun, kali ini, seorang ibu di pojok depanku berkata kepada si ibu, “Ibu, itu tolong payungnya dipindahin, Bu. Biar cepet penuh dan cepet jalan.”

Ampuh. Payung pun dipindahkan.

Angkot bersiap jalan. Lagi. Si ibu menyentuh pundakku. Ia bicara padaku lewat belakang wanita berjilbab yang duduk di antara kami. Ia berbisik perlahan,

“Dik, boleh minta uang seribu nggak, Dik? Untuk tambahan ongkos. Uang saya kurang, tadi habis nebus obat.”

Aku paham maksudnya. Kubuka ranselku. Kuambil selembar uang seribu rupiah dari dalamnya, lalu kuserahkan pada si ibu.

“Terima kasih, ya, Dik.” katanya.

Aku tersenyum tipis. Kawan, jujur, bantuan itu memang kuberikan. Tapi hatiku?
Jika boleh aku mengaku dosa, kawan. Aku memberikannya dengan segera agar urusanku dengannya cepat selesai. Astaghfirullah. Semoga Allah mengampuniku.

Angkot berjalan. Hujan tetap dengan setia turun walaupun tidak sederas sebelumnya. Suasana dingin mengundang para penumpang untuk tertidur. Termasuk aku. Sekitar 15 menit aku tertidur. Aku terbangun ketika penumpang mulai turun. Ketika itu angkot sedang melaju di daerah Universitas IISIP Jakarta.
Penumpang di bangku panjang seberang tersisa dua orang. Akhirnya, perempuan berjilbab di sebelahku memutuskan pindah. Kembali aku berada di sebelah si ibu.

Ketika angkot sampai di depan Stasiun Lenteng Agung, lagi, (perhatikan, kawan, lagi!) si ibu menyentuh pundakku. Ingin rasanya aku mengatakan, “Oh, ma’am, what else?”

Aku menoleh lagi. Ia menyodorkan kertas-kertasnya tadi padaku sambil berkata,

“Dik, ini gimana ya caranya biar nggak basah?”

Aku memperhatikan kertas-kertas dalam plastik yang disodorkan padaku. Ada dua buah plastik, masing-masing berisi berkas yang berbeda. Aku punya ide. Kusatukan kedua berkas itu dengan maksud agar pastik itu bisa saling menutupi. Si ibu melihatku bekerja dengan wajah polos. Tapi, ia panik ketika melihatku menyatukan kedua berkas itu.

Ia berkata, “Itu jangan dicampur, Dik.”

Aku menghela napas. Kali ini aku harus bicara, “Ibu, kalau ini nggak disatuin, nanti berkas yang satu lagi nggak ketutup. Akan tetap basah nanti.” kataku seperlahan mungkin.

“Oh, gitu ya? Ya udah, deh. Nggak papa, Dik. Daripada basah, repot lagi nanti.” katanya menyetujui tindakanku.

Untuk kedua kalinya, kawan. Bantuan itu memang kuberikan. Tapi hatiku? Entahlah. Meski kesal itu mulai berkurang, tapi ikhlas? Rasanya masih jauh. Pekerjaanku selesai. Berkas itu rapi kini. Kusodorkan semua kepada si ibu. Kembali si ibu berterima kasih.

Namun, tunggu.

Ketika kusodorkan kertas dalam plastik itu, sempat terbaca olehku kertas di susunan paling atas bertuliskan “Surat Keterangan Miskin” lengkap dengan stempelnya.

Aku sedikit terkesiap.

Lalu aku mulai mengamati si ibu dengan saksama, hal yang sejak tadi aku abaikan. Ia mengenakan baju tidur panjang berwarna coklat yang terdiri dari satu stel, celana dan baju, yang sudah tampak lusuh. Ditambah dengan kerudung langsung berwarna coklat yang sama lusuhnya. Sandalnya jepit berwarna merah muda. Selain paper bag dan payungnya tadi, ia masih menenteng sebuah plastik berwarna merah muda, yang entah isinya apa.

Kawan, jika tokoh Shinichi dalam komik “Detective Conan” selalu mengatakan bahwa fakta-fakta yang ditemukan di TKP sebenarnya adalah potongan puzzle, yang walaupun kelihatan berantakan dan bentuknya tidak karuan, pasti akan berbentuk jika kita mengubah sudut pasangnya, maka aku pun mulai mencari hubungan antara semua hal yang kulihat dan saksikan.

Pakaian lusuh…
Surat keterangan miskin…
Ongkos yang kurang karena menebus obat…
Kau pun mulai melihat hubungannya, kan?

Analisisku pada akhirnya mengantarkanku ke bibir jurang penyesalan. Atas perasaan tidak sabar. Atas sikap yang tidak ramah. Atas bantuan yang tidak disertai keikhlasan. Kutatap sang ibu iba.
Angkot sampai di daerah Gardu. Sang ibu bilang, “Kiri, Bang. Gardu.”

Ia membayar ongkos (tiga ribu rupiah), lalu turun perlahan. Setelah kakinya menginjak tanah, ia pun mulai berjalan.

Pelan. Dan… terpincang-pincang!

Ya Tuhan! Kini aku sudah bukan lagi berada di bibir jurang, tapi telah dengan sukses terhempas masuk ke dalam jurang itu. Dalam.

Pemandangan itu… hanya sekilas karena angkot segera melanjutkan perjalanan, tapi, mampu membuatku membeku selama beberapa detik. Speechless.


Pun tentang kisah Salman dan Abu Darda’ itu, saudara, teman entah siapa kau kan kusebut,
Ah, kau lebih paham itu.. sungguh..
Pun bahwa aku percaya bahwa “Jika ini adalah perintah Allah… maka sungguh ia tidak akan menyia-nyiakan kami!”


Tapi dalam nyataku ia entah kemana, entah kemana.



Oleh:
Fina Febriani dan Jayaning Hartami dipadu-padan Muhammad Akhyar

#3.8

Malam sudah larut, tapi Rei belum juga tidur. Matanya menatap layar laptop -satu satunya cahaya yang menerangi kamarnya-.

Klik! 
Suara notifikasi muncul. "Ah ya, pasti dia," Rei tetiba tersenyum tanpa bisa ditahan. Sesegera ia buka laman blog untuk membaca satu komen yang ditunggu-tunggunya.

Kebiasaan ini sudah hampir sebulan lamanya berjalan.

Entah kenapa untuk satu penanggap blognya ini, Rei susah menahan diri. Lupa dengan jam malam. Lupa dengan penanggap lain. Lupa dengan sekitar. Lupa untuk berhati-hati dengan hatinya. Untuk satu penanggap ini, Rei selalu girang bukan kepalang. Bahkan untuk satu baris sepele yang mungkin tak ada artinya. Buat Rei, setiap huruf yang muncul adalah semangat yang terpompa ke seluruh tubuhnya. Meski keesokan hari, ia dan si penanggap hanya bersitatap di persimpangan gedung saat pergantian kelas. Meski tak pernah ada konfirmasi tentang kejelasan maksud menanggapi.

Melakukan blogwalking ke sana? Tak perlu ditanya. Laman itu jadi salah satu tempat berkunjung favoritnya. Walau jarinya selalu berhenti di tengah tulisan, lalu lantas meng-klik discard untuk membatalkan komennya. Tidak. Rei tidak sampai hati untuk meninggalkan jejak di sana. "Ia cuma seorang Kakak," begitu Rei membatin berkali-kali. Kakak, tak kurang tak lebih. Kakak yang perhatian. Kakak yang tak segan menawari bantuan. Kakak yang selalu menyuruhnya pulang kampus sebelum jam malam. Kakak yang seringkali menambahkan, "Dik" di akhir kalimat sapanya. Kakak yang begini. Kakak yang begitu.
 

Rei mengambil nafas dalam-dalam. Masih tersenyum memandangi satu kotak kecil yang muncul tepat di bawah tulisannya. Malam sudah semakin larut, namun ia masih enggan untuk menyudahi urusannya.


Sampai dimana Rei dan ia?

Sesungguhnya tak pernah beranjak kemana-mana. Lelaki penanggap setia blognya ini hanya teman satu kampus yang tak sengaja bekerja di tempat yang sama. Jangankan jalan berdua, sekedar mengobrol tanpa ditemani pihak ketiga saja mereka tidak pernah. Tapi terkadang, sesekali meningkat ke percakapan YM. Atau bertanya tugas lewat sms. Terkadang lelaki ini menelepon sekedar bertanya Rei sedang apa, dimana, dengan siapa. Lebih dari itu? Tidak, Rei dan lelaki ini tidak pernah beranjak kemana-mana.  


Rei tidak sadar, ada yang menetes satu persatu.
Buat Rei, entah buat lelaki itu... 



-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------






Stasiun Duri

"Kemiskinan itu dirasakan, bukan dibicarakan.."

-Stasiun Duri, selepas ambil data PKL yang (akan) kena gusur-

#3.7

Kamu akan tahu pasti kalau kamu mencintai seseorang ketika menaiki kereta bersamanya, kamu diam-diam berharap rel kereta ini tidak ada ujungnya.

-Tangguh, tentang Rei-

Beda

"Kamu tahu apa bedanya aku dan kamu?" 

"Kamu, berusaha menghapus tentang aku di tiap harimu. Sedang aku, berusaha agar dirimu tak terhapus sedikitpun dari diriku."

-Serial Love in Harvard-


#3.5

Lagit mempercepat langkahnya, pintu gerbang sudah mau ditutup.

Teeeeeet.. Teeeet! 
Ups, syukurlah. Hampir saja sejengkal ia tidak bisa masuk ke dalam sekolah. Langit melanjutkan langkah menuju kelasnya di lantai 2. Sepanjang jalan, mata dan kepalanya sibuk menoleh sana-sini, menjawab sapaan. Maklum aja sih, Langit memang termasuk penggiat organisasi. Cukup dikenal lah.

Langit menaiki tangga. Kakinya hampir mencapai anak tangga terakhir, sampai tiba-tiba satu siluet melewatinya. Berjalan mendahuluinya di tangga, hampir-hampir menabraknya. Langit menoleh ke arah si penyalipnya. Sayang, cuma bisa melihat punggung. Tapi cukup buat Langit untuk mengenalinya,

"Rei? Pakai jilbab sekarang?"


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------

“Kan sudah pernah kubilang padamu: aku tidak bisa mencintaimu dengan sederhana. Aku mencintaimu dengan semua kerumitan itu, pelik yang berkelip pelangi dari tiap rongga...” 
(Helvy Tiana Rosa)


Masalahnya tidak sesederhana ini. Berulang kali aku menjatuhkan cinta, menempel dimana-mana. Jika dulu semua cuma dalam kadar biasa saja, kenapa yang ini beda? kenapa dalam sekali?

Langit masih ingat merah-padamnya wajah gadis itu saat ia tanya. Tidak ada jawaban, Langit sendiri tak berani menebak apa arti merah-padam itu. Bisa jadi suka. Bisa jadi kesal. Oh, jangan-jangan malah benci. Langit cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Mungkin karena hawa kompetitif saja, begitu Langit berusaha membenahi hatinya berhari-hari. Kabarnya, gadis ini banyak sekali yang mengingini. Dari organisasi, dari klub futsal, dari teman sepermainannya. Langit bahkan tau pasti satu sahabat terbaiknya punya rasa yang sama. Langit, dirinya berbenah tapi hatinya tidak. Ia cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Langit ingat. ingat sekali, bagaimana gadis itu menunduk dalam dan jarinya makin erat mengenggam kertas yang entah-apa-isinya. Langit tidak peduli. Tidak pada kertas yang gadis itu genggam. Tidak pada beberapa mata yang mengamati. Tidak juga pada bel masuk yang sudah berbunyi. Semua hanya terlihat berpendar, sampai tahu-tahu kalimat itu sudah meloncat dari tenggorokanya,


"Rei, jadi istri saya ya? 8 tahun lagi?"

Langit tidak tahu, kalimatnya kelak menjadi penentu takdir empat orang di beberapa tahun ke depan...


 









Random



Susah banget buat saya untuk menyukai lagu yang gak ada cerita di baliknya. Jadi biasanya saya suka filmnya atau tokohnya dulu, baru deh suka sama lagunya.

Kayak yang ini nih..

 

Dua

"Ya ampun Dek, kamu bener-bener suka ya hidup naik turun gini. Kayak Roller Coaster.."

Satu. Dua.., aku terkesiap. Antara takut dan nahan ketawa.

"Tapi gak apa juga sih. Aku ngerti kok," Lelaki itu membunyikan tawa khasnya.

Aku tersenyum.
Lelaki itu tersenyum.





Ah iya, tidaklah kita dicipta melainkan untuk bersama. :')

#3

Sudah lama sejak Rei pusing sebegininya. Soalan yang sudah menggelayuti pikirannya berhari-hari, ups berbulan bahkan. Rei mencoba tanya sana sini, alih-alih  dapat jawaban atau kepastian, yang ada perasaanya malah jadi tercecer kemana-mana.


Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Entah kenapa, seperti sebuah siklus, Rei hampir tau pasti bagaimana hatinya bisa jatuh pada seseorang. Mulai dari gombalan kawan SD sampai candaan konyol rekan SMA. Seperti sebuah siklus, pada Rei, hatinya tidak pernah jatuh kemana-mana. Ia biasa menerima ucapan, tawaran, ajakan. Rei terbiasa dipinta. Ketika ada yang mengatakan suka, cinta, atau konsep afeksi lainnya, setelah itulah hati Rei tergerak untuk membalasnya. Seperti siklus tetap yang tak pernah diubah berubah: hati Rei (hanya) akan jatuh pada ia yang memintanya.



Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Perjalanannya baru separuh saat ia, lelaki pertamanya, datang dan menyatakan perasaan. Rei yang saat itu baru belajar mengeja makna cinta sebenarnya, berusaha berpaling. Menolak. Menjauh hingga 127 km jauhnya. Tapi begitulah siklus, Rei sudah terbiasa, hatinya jatuh pada ia yang meminta. 127 km nyatanya terlalu pendek. Rei menyimpan getasnya dalam-dalam. Pada lelaki pertama itu, hatinya jatuh.



Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Sudah menahun Rei menyimpan ceritanya. Keinginannya mengeja cinta dengan benar membuatnya menjauhi segala bentuk hubungan lelaki-perempuan. Ah Rei, ia tidak tahu itu hanyalah defense dari apa yang tumbuh dalam hatinya. Rei tidak sadar, ia sendiri yang memupuk-siramnya setiap hari. setiap hari. Hingga tumbuh tak terkendali.




Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Ada satu getar aneh yang Rei rasakan di tahun keduanya. Ia, lelaki kedua ini datang entah dari galaksi mana. Percakapan yang tadinya berkisar di basa-basi, perlahan meningkat, melebar kemana-mana. Ada tawa, canda, bertukar gelitik, lalu lari.  Rei yang polos, lelaki yang kelewat genuine. Tidak ada yang menyadari bahwa ada perasaan yang menetes satu persatu. Buat Rei, entah buat lelaki itu.




Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Rei tidak tahu apa itu rasanya jatuh cinta. Siklus sudah sekian lama mendarah daging di logika-emosinya. Antara Rei dan lelaki kedua itu, ada yang beda. Rei tidak berani mendefinisikannya sebagai jatuh cinta. Tidak pernah ada pernyataan. Tidak pernah ada tawaran. Lelaki kedua itu tidak pernah memintanya. Rei menelan ludah berkali-kali. Tidak, Rei tidak pernah memberikan hati pada ia yang tidak memintanya.

Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Perasaan tak terdefinisi itu ternyata begitu kuat. Membuat Rei bertanya-mencari sana-sini, meraba, dan menjamah. Sesekali menyelipkannya dalam kalimat tanya saat berbincang. Mencoba menerka tatapan mata, pilihan kata, sampai ucapan sapa. Rei tidak pernah berani menamai perasaannya, walau sadar ada getir yang selalu muncul tiap nama lelaki kedua ini, terlintas di indranya. Menahun Rei berusaha, semua terasa sia. Tak pernah ada ajakan, pernyataan, tawaran. tak pernah ada pinta. Ah, kasihan Rei, tanyanya tidak pernah menemu jawab.


Selama 20 tahun, sudah beberapa kali Rei bersitatap dengan situasi hati seperti ini. Selama ini waktu, seperti ujar para pujangga, selalu bisa mengaburkannya. Hanya saja kali ini tidak. Lebih rumit.

Rei menggigit bibir, merapatkan jaket ke tubuhnya.



Langit dan Tangguh, tentang dua lelaki ini. Rei selalu tak menentu...

#5

Rei tidak tahu, kenapa melewati Kota Tua bisa segini sesaknya.
Lalu pojokan resto A&W di stasiun itu. Tiap jengkal stasiunnya.

Rei tidak tahu kenapa melewati pusat perbelanjaan tadi buat sesaknya menjadi-jadi.

Rei tengadah, musik di earphone yang menempel di telinganya masih berdetak-detak kencang. Rei menyentuh pelan, menaikan volumenya ke titik maksimal. Ada yang jatuh di sudut matanya. Hampir-hampir ia pulang.

Tapi Rei tahu, semua harus selesai dalam 48 jam ke depan.


Kereta datang. Rei naik. Decitan rel yang sudah lama tidak familiar baginya, berbunyi di sepanjang perjalanan. Lagi-lagi Rei tengadah. Ada titik air yang harus segera dihapus sebelum para penumpang memandangnya aneh.

Rei menghela napas, menghadapkan wajahnya ke jendela.

Ada tetesan lain yang turun. 
Tapi kali ini, Rei membiarkannya.

100 KM

"Kapan ya, rapuhmu itu hilang?"

Jangankan kamu, saya sendiri pusing. Konyol ih, sampai sudah lulus bertahun pun saya tetap yang paling fragile diantara kalian semua. Tetap jadi yang lari kesana-kemari gak jelas. Tetap jadi yang gak bisa berkepala dingin buat sekedar duduk dan berpikir.

Tapi, kayak gitu kan bukan Tami banget.

 Kayaknya selamanya saya tetap akan jadi yang paling ciut, yang kabur-kaburan dan berceceran dimana mana. Saya mau tetap jadi yang kalian puk-puk dan semangati. Karena ya itu, saya akan tetap jadi yang paling mudah menangis di antara kalian. Sama sekali gak berubah. huks.

Tapi terimakasih sudah menjadi tempat-tempat perhentian terbaik saya. Saya mulai dari KM1, lalu ke 25 dan 35. Saat pergi saya rapuuuhh sekali. Tapi entah kenapa saya percaya, sepulang menuntaskan 100 KM, saya akan sangat baik-baik saja.

Lalu kamu (kamu) yang sudah jadi KM 50, 60, 75. Saya nggak tahu mesti berucap apa. Terimakasih karena tidak banyak bertanya saya ini kenapa. Terimakasih untuk tidak bertanya keanehan kelakukan saya 48 jam terakhir. Saya mesti menuntaskan 100Km saya, Ah terimakasih sekali untuk tidak mengintervensi.

Butuh 75KM sampai saya sadar bahwa kalian ada. Menampar bahwa yang saya benci bukan ketidakpedulian kalian, tetapi ketakutan saya. Saya takut  hingga ke ubun. Hingga memuai entah kemana. Dan hari ini saya selesaikan ketakutan itu. Karena tidak ada yang bisa mencerabut, selama saya tidak mengizinkannya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali mendengar seseorang bicara hal baik tentang diri saya. Maafkan jika saat itu meledaknya jadi agak berlebihan. Kamu (kamu) paham, kan? 

Sampai di KM 100, yang tadinya saya kira akan ditemukan di perjalanan pulang, ternyata ada di kamu, dan berita itu. Ah iya, gak ada yang kebetulan, semua Allah yang atur. Rasanya campur aduk, sedih-sedu-sedan, harus menutup visitasi ini dengan berita seperti itu. Tapi lagi-lagi Allah yang atur. Dan saat kamu (dan berita itu) teraba indra, saya langsung tahu: Ini KM100 saya.

Lengkap sudah 100KM saya. Pada kamu dan (kamu).


Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger