Tiga Lelaki

Tidak banyak yang saya ingat tentang lelaki ini. Sebelum perpisahan itu terjadi, kami tidak dekat. Saat bertemu saya lebih banyak mendapatkan omelan, entah karena sikap saya yang kurang behave atau sekedar karena PR Matematika yang tidak juga mampu saya selesaikan secepat dia.


Saya ingat, ingat sekali. Betapa sejak kecil saya ingin menjadi anak terbaiknya. ingin ia melihat saya. Ingin sekali menunjuk-banggakan diri bahwa gadis kecil ini adalah putri terbaik yang pernah ia miliki.

Kesempatan itu pertama datang saat saya kelas 1 SD. Untuk pertama kalinya, nilai ujian matematika saya sempurna. tertinggi di kelas. Apa hal pertama yang saya lakukan? Di jam istirahat saya nekat keluar sekolah (yang tentunya sangat dilarang oleh SD swasta saya saat itu), untuk kemudian mencari telepon umum terdekat. Cepat tangan kecil saya menekan nomor kantornya. Saya ingat, ingat sekali suara saya meletup bahagia hingga terbata mengabarkan nilai sempurna yang saya pegang. Saya ingin lelaki ini menjadi yang pertama tahu, bahwa gadis kecilnya mampu menjadi sepertinya, selalu yang terbaik di kelas.

Apa yang saya dapat? Reaksinya datar. mengucap selamat namun dengan nada sedikit gusar. Entah mungkin ia tengah rapat, atau penat menghadapi tumpukan berkas di meja kantornya. Hal-hal yang tentu tak sampai dipertimbangkan otak anak-anak saya saat itu. Lalu saya ingat sekali, di akhir telepon ia menegur saya karena keluar sekolah tanpa izin. titahnya tegas : Cepat kembali ke sekolah! Secepat saya mengembalikan pesawat telepon ke posisi semula, secepat itu pula saya mencatat sakit saya hari itu.

Di hari-hari mendatang, saya nampak begitu perhitungan dengan lelaki ini. Silap, amarah, raut kecewa, gusarnya saya catat sempurna dalam memori. Dalam hati. hingga tak sadar ada amarah yang saya tumbuh-suburkan setiap harinya. Hingga perpisahan itu terjadi, saya terkejut menemukan ketiadaan rasa rindu. tidak sama sekali.

Membicarakan lelaki ini, tak bisa saya tak haru. Karena kisah ini bukan cuma tentang ia. Bukan hanya tentang amarah-amarah itu. lebih jauh lagi ini tentang pendewasaan saya memahami kehidupan. memahami bahwa semua tercatat rapi sebagai takdir di sisi-Nya. Lalu belajar paham bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin yang menjatuhkannya..

Hingga di usianya yang menjelang separuh abad, lelaki itu mengucap kalimat yang membuat pertahanan saya runtuh. lebur tak bersisa. "Maafkan atas masa kecilmu yang pincang sebelah," begitu katanya. Lihat, untuk mengetikannya saja saya (lagi-lagi) menangis. 

Darinya saya belajar. Bahwa memaafkannya bukan sekedar untuk dia. Tetapi lebih untuk saya. Untuk membawa diri saya pada tahap penerimaan bahwa takdir terbaik saya adalah menjadi putrinya..

Terimakasih Ayah.. untuk semua kebaikan yang sulit sekali Tami ingat. Untuk yang paling samar sekalipun. Tami cinta Ayah.. cinta sekali..


Sedangkan lelaki ini, adalah tipikal khas polisi jaman orde lama. Disiplin nan tinggi dan keras watak yang kemudian menemani saya dari usia 7 tahun hingga menikah. Hatinya lembut, lembut sekali. Lelaki yang suka sekali berdiri di sekitar pagar -memastikan cucunya bermain dengan teman sepermainan yang "benar"- ini diam diam menangis saat gadis kecilnya bertanya polos, "Mbah, Tami setiap hari suka berdo'a sama Allah, supaya Ayah sama Ibu bersatu lagi.. Do'a Tami bisa terkabul ga Mbah?" Basah matanya di tengah kompor yang menyala dan penggorengan. Lalu berpura mengaku matanya perih terkena bawang.

Lelaki ini setiap pagi mengawali hari dengan membuatkan ceplok telur paling enak sedunia, yang kadang dimodifikasi dengan saus tomat racikan khasnya. Lalu saat cucu-cucunya pulang sekolah dan mulai meramaikan rumah dengan teman-teman sepermainannya, ia dengan wajah ramah mengambil lakban besar, untuk kemudian membuatkan pola pola demprak di garasi mobil. Belakangan cucunya paham, lelaki ini hanya ingin memastikan cucu-cucu yang tak lagi berumah sempurna, agar masa kecilnya tetap sempurna.

Lalu saat datang seorang lelaki melamar gadis kecilnya, lelaki ini tak banyak berkata. berhari-hari ia berdiam di kamarnya. Sempat kesal saya dibuatnya, karena tingkah lakunya membuat beberapa proses cukup tertunda. Hingga tergagap saya diberitahu : bukan perkara tidak mengizinkan, lelaki ini belum kuat melepas gadis kecilnya.

Hingga hari-hari dimana kini cicit perempuannya yang berceloteh riang meramaikan rumahnya, lelaki ini sering sekali berkelakar, "Dulu Tami pernah ditanya sama Ibu, 'Tami anak siapaaa?' Terus Tami jawab, 'Anak Mbah Kaaaakuuung!' Habis itu Ibu nangis hahahaha..."

Wajahnya berbinar bangga. Tak terkatakan.

Hingga detik ini, lelaki ini adalah pria pertama dalam hidup saya. Dan akan selalu seperti itu..







Untuk yang satu ini, kelu lidah saya berkata. terlalu banyak makna yang berhamburan, yang tak kan pernah cukup diwakili oleh satu atau dua paragraf.

Dia yang memahami "luka" saya sejak awal kami berkenal dekat. Dia yang paling tahu dimana pusat ketidakseimbangan saya, lantas menawarkan syurga sebelum syurga, "Akan aku bayar semua sakit itu, akan ku bahagiakan dirimu selalu.."

Pria yang membuat saya jatuh hati setengah mati. Hingga sejauh apapun saya berlari, saya pasti akan kembali padanya. Dan dia yang tahu segala keburuk-rupaan sifat saya, lalu memilih untuk tetap di sini. Di sisi.

Tidak ada yang tahu pada hitungan tahun keberapa kami akan melangkah bersama, tapi saya tahu pasti saya ingin terus bersama lelaki ini.

Ahmad Dzaky Hanif, aku mencintaimu... Terimakasih untuk lima tahun perjalanan yang menakjubkan. Terimakasih karena masih mau terus berusaha bersama. Hingga nanti di saat terburuk kita (oh yes, we haven't met the worst), biarlah tulisan ini menjadi pengingat, bahwa perjalanan kita memiliki terlalu banyak alasan untuk terus diperjuangkan. :')




Laki-laki bijak, perempuan hebat. Lelaki dan Perempuan sukses :)

"Faktor utama melejit atau tenggelamnya potensi seorang perempuan setelah pernikahan adalah keputusan dan tindakan suami.

Kita tentu sering mendengar bahwa di balik laki-laki sukses ada perempuan hebat. Sesungguhnya, di balik perempuan sukses pun ada laki-laki bijak.

Jika semua laki-laki dan perempuan bisa bersinergi dengan baik, maka sesungguhnya yang ada di dunia ini hanyalah laki-laki dan perempuan sukses.." 

-Sari A. Rahmawati-

Sssst.. Salam takzim saya buat kamu-kamu, lelaki dan perempuan yang mampu dan selalu berusaha bersinergi :) 

Jumat

You are never alone..
Just listen to your heart and Allah is always there.
You are never alone..
Through sorrow and through grief
Through happiness and peace

You are never alone 



Allah, apa kabar? Terimakasih untuk hari ini :)

Bagaimana?

"Bagaimana, bila akhirnya ku cinta kau?    Dari kekuranganmu, hingga lebihmu.."
-BCL-
 

 Buat seorang lelaki di sudut lain kota ini. Selamat bertemu nanti malam.
 Terimakasih sudah bersetia menjemput (hampir) setiap Jumat. Di pukul sepuluh malam sepulang kuliah. 
 I keep falling in love with you over (and over) again.. :)

Bully-Bully (an)?

Tentang bully-membully, saya rasanya sudah kenyang lahir batin dari SD hahaha..

jadi alkisah waktu saya pindah SD ke jakarta utara, yang cuma berjarak 8 rumah dari rumah Nenek dan Kakek saya itu, saya langsung di ketemuin sama anak perempuan yang langsung ngebully saya di hari pertama.
Jadi di hari pertama sekolah itu, anak-anak sekelas pada ribut kecuali gw (ya iyalah, namanya juga anak baru, menurut Ngana?). Lalu guru gw berkomentar, "Jangan ribut dong! Tuh kayak anak baru itu dong, kalem!" belakangan saya renungkan, ga wise juga si Bu Guru ngejadiin saya benchmark buat temen-temen yang lain. Mungkin beliau ga sadar, saya akhirnya dipersepsi "outgroup" sama temen-temen sekelas.

Hasilnya?
Disinisin lah gw di sama sekelas hahahaha..
Tapi namanya juga anak-anak (kelas 3 SD waktu itu), jadi ya ga lama-lama amat sinisnya.. (beda ye sama orang dewasa,dendam kebawa-bawa mulu *lahcurcol*)  pas istirahat udah diajak main bareng lagi. Udah lalala yeyeye lagi.

Nah tapi ada satu anak perempuan, sebut saja si D, yang sinisnya ga berhenti berhenti. Aslik sampe jam pulang sekolah dia menatap gw masih dari atas ke bawah, jauh dekat, bak sinetron di televisi itu! lalu ga cuma hari itu doang.. di hari-hari selanjutnya dia masih bertingkah laku serupa. Ajegileee.. kenal juga baru sehari udah begitu amat yak tu anak.

Belakangan gw ketahui, dia melakukan itu bukan sama gw doang, tapi hampir ke semua anak kelas. Yang lucunya, dia kalo musuhin orang ga mau sendirian. Kalo ada satu target yang dimusuhin, dia mem-woro-woro-kan anak lain buat ikutan musuhin si target itu. Gw kaget karena di sekolah gw yang lama, ga ada anak model begitu (sekolah gw yang lama itu sekolah swasta, ini yang bikin gw masih prefer sekolah swasta daripada negeri buat Aqila).

Si D ini seperti memang sudah menargetkan beberapa orang yang akan dia musuhin rutin per bulannya. Ganti bulan, ganti target. belakangan udah dewasa gini, saya mikir, bahaya banget ya ada anak model gitu di sekolah. Hiks.. *kekepqila*.

Nah sialnya, gw jadi salah satu dari beberapa anak yang -entah kenapa- masuk ke target si D ini. Gw dimusuhin rutin selama sekolah sampe lulus SD. Ciyus Enelan.

Lebih lebih lagi saat gw si anak baru yang tetiba masuk di kelas 3 SD, di cawu itu juga langsung masuk ke ranking 3. Idiiiihhhh, bullyannya tambah paraaah... Nyiksa psikologis banget, saya inget banget dari kelas 3 sampai 6 SD ada berpuluh episode pulang-ke-rumah-sambil-nangis-sesenggukan cuma karena seharian itu ga ada yang boleh (iya, beneran g ada yang boleh) jajan sama saya pas istirahat. dan pas di kelas ga ada yang boleh (beneran, pada dilarang) buat ngomong ataupun duduk sama saya.

Sakit, cyiin..

si D ini berbuat hal yang sama pada semua targetnya. tapi entah kenapa sama gw suka kelebihan bullynya dibanding yang lain. Makin tinggi nilai rapor gw, makin tinggi tingkat bully-annya. Aduh, puk puk si Tami kecil..
Tapi untungnya pas SMP, si D ini misah SMP sama saya. Dia ga dapet SMP unggulan (Tuhan tahu tapi Ia menunggu, rite?) , sedang saya masuk SMP unggulan bareng teman teman yang lain.

Selesai ga episode bullynya?

Pelakunya ilang, tapi efeknya enggak.
Aduh bentar, mencelos hati gw mau ngetik ini.

Belakangan setelah saya (lebih) dewasa, saya mengamati bahwa saya tumbuh sebagai orang yang takut sekali dengan kritik dan celaan orang lain terhadap diri saya. Sungguh,emosi yang muncul itu takut. Takut yang bikin saya merasa ga enak hati dengan yang mengkritik or mencela, bagaimanapun benar salah nya si pengkritik itu.

Kalau ditilik, mungkin ketika 3 tahun bersama si D itu, saya terlampau banyak menerima celaan di depan maupun belakang muka -yang walaupun banyakan ga benernya- tapi bikin saya kehilangan teman. Bikin saya jajan sendirian tiap istirahat sekolah (Aduh, gw nulisnya beneran mau nangis). Jadi asosiasi yang muncul di kepala saya adalah Kritik = Dikucilkan. Terlebih saat itu si D kan anti kritik. main musuhin orang tapi ga mau di blaming balik. Alhasil, saya tumbuh jadi orang yang ga bisa fight dengan si pembully. juga bikin saya dihantui rasa bersalah berhari hari kalau ada omongan jelek tentang saya dari orang lain.

Iya, saya insecure.


Itu pertama. Kedua, tentang memaafkan.

Selama jadi objek si D bertahun-tahun, saya masih inget betapa seringnya saya merasakan sensasi -mencekat-tenggorokan- dimana saya pingin membela diri, tapi ga bisa. karena temen-temen satu kelas pada nurut dengan si D. walaupun ada yang diem-diem di belakang nelpon dan ajak saya pulang bareng (bahkan mereka baru berani ngelakuin itu saat si D udah g ada di sekolah. kebayang ga pembully gw itu macem mana orangnya?) , tapi ketika di kelas saya kalah. posisi saya selalu kalah.

Saya ga sadar, ada dendam yang saya pelihara, beri makan, dan rawat baik baik sampai subur.

Hasilnya? Saya suuuuuuuuuliiiiiitttttt sekali memafkan kesalahan orang lain, terutama yang berhubungan dengan emosi takut. Ga cuma orang lain ya, inner circle saya termasuk. Keluarga besar, keluarga kecil, sahabat. Saya merekam baik setiap emosi negatif yang ditimbulkan dari kesalahan itu.



Astagah, betapa bully membully ini sungguh signifikan memengaruhi hidup saya.. :'(


Dan kayaknya saat ini saya dipertemukan kembali sama orang setipikal mbak D namun dalam skala yang lebih rendah.

Dan nyeseknya.
Sampe
ke
ubun
ubun...



Bedanya, sekarang Tami nya udah gede. Udah dewasa. udah kenal sama konsep asertif, empati, dan forgiveness. Udah tau bedanya soda sama air. Udah paham, bahwa ga semua semburan api, harus dibalas dengan semburan api juga -apalagi bensin-. Tapi kok outputnya tetep sama? Alih-alih membela diri, saya malah ngalah dan diem (lagi). Lalu pagi ini tetiba inget lagi kejadian masa kecil itu. Susye yee hidup guee..

Saya berusaha mengambil insight kalau saya harus sangat berhati hati sekali dalam mencela. karena celaan itu ibarat paku. Dan saya ga tau pasti orang yang saya cela itu, apakah ia seorang kertas, kaca, atau baja? jika paku celaan saya bertemu dengan seseorang yang hatinya seperti kertas, saya ga bisa pastikan berapa besar robekan yang saya buat disana. Saya ga mau gambling. Saya gak boleh gambling.

Huft, lega deh udah keluar apa2 yang saya simpen selama beberapa bulan yang lalu. Abis ini ke psikolog aahh..

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger