#3.5

Lagit mempercepat langkahnya, pintu gerbang sudah mau ditutup.

Teeeeeet.. Teeeet! 
Ups, syukurlah. Hampir saja sejengkal ia tidak bisa masuk ke dalam sekolah. Langit melanjutkan langkah menuju kelasnya di lantai 2. Sepanjang jalan, mata dan kepalanya sibuk menoleh sana-sini, menjawab sapaan. Maklum aja sih, Langit memang termasuk penggiat organisasi. Cukup dikenal lah.

Langit menaiki tangga. Kakinya hampir mencapai anak tangga terakhir, sampai tiba-tiba satu siluet melewatinya. Berjalan mendahuluinya di tangga, hampir-hampir menabraknya. Langit menoleh ke arah si penyalipnya. Sayang, cuma bisa melihat punggung. Tapi cukup buat Langit untuk mengenalinya,

"Rei? Pakai jilbab sekarang?"


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------

“Kan sudah pernah kubilang padamu: aku tidak bisa mencintaimu dengan sederhana. Aku mencintaimu dengan semua kerumitan itu, pelik yang berkelip pelangi dari tiap rongga...” 
(Helvy Tiana Rosa)


Masalahnya tidak sesederhana ini. Berulang kali aku menjatuhkan cinta, menempel dimana-mana. Jika dulu semua cuma dalam kadar biasa saja, kenapa yang ini beda? kenapa dalam sekali?

Langit masih ingat merah-padamnya wajah gadis itu saat ia tanya. Tidak ada jawaban, Langit sendiri tak berani menebak apa arti merah-padam itu. Bisa jadi suka. Bisa jadi kesal. Oh, jangan-jangan malah benci. Langit cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Mungkin karena hawa kompetitif saja, begitu Langit berusaha membenahi hatinya berhari-hari. Kabarnya, gadis ini banyak sekali yang mengingini. Dari organisasi, dari klub futsal, dari teman sepermainannya. Langit bahkan tau pasti satu sahabat terbaiknya punya rasa yang sama. Langit, dirinya berbenah tapi hatinya tidak. Ia cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Langit ingat. ingat sekali, bagaimana gadis itu menunduk dalam dan jarinya makin erat mengenggam kertas yang entah-apa-isinya. Langit tidak peduli. Tidak pada kertas yang gadis itu genggam. Tidak pada beberapa mata yang mengamati. Tidak juga pada bel masuk yang sudah berbunyi. Semua hanya terlihat berpendar, sampai tahu-tahu kalimat itu sudah meloncat dari tenggorokanya,


"Rei, jadi istri saya ya? 8 tahun lagi?"

Langit tidak tahu, kalimatnya kelak menjadi penentu takdir empat orang di beberapa tahun ke depan...


 









¡Compártelo!

0 komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger