berbicara selalu lebih mudah daripada berbuat, begitu orang bijak berkata. jauh dari berkata, ada berpikir. Ya, berpikir kian mendahului semua kekata. Implikasinya, jika berbicara saja selalu lebih mudah dari berbuat, maka berpikir tentu lebih mudah lagi, bukan?
agaknya itu benar.
Jauh sebelum saya menikah, saat itu rok saya masih abu-abu pula :p, saya berpikir betapa idealnya pernikahan yang akan saya capai nantinya.Saya asyik membayangkan sebuah rumah tangga nan ceria, yang tiada kesedihan di dalamnya sama sekali.
Suami saya yang teratur shalat di masjid, membangunkan malam-malam saya untuk menegakkan lail, memberi nasihat-nasihat bijak, tergelak-gelak dengan anak-anak kami yang bergantian menggelayuti pinggangnya. Ah, sempurna.
Seiring, saya pun membayangkan bahwa saya akan jadi istri yang begitu shalihah. Pagi-pagi sekali sudah bangun menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. kemudian dilanjut dengan memasak sarapan untuk semua, bersempat diri berdandan setelahnya agar kian mewangi tatkala suami membuka matanya. Saya juga membayangkan wajah yang selalu penuh kasih dan keramahan menyambut suami pulang. juga tawa renyah dan rengkuhan hangat yang selalu terentang bagi anak-anak. Ah, sempurna.
Imaji saya juga mengonstruksi gambaran hari-hari kami yang akan disibukkan dengan berbagai kegiatan manfaat bersama. berjalan gandeng dengan bocah-bocah yang tawanya riang selalu. Lalu sesekali menyepi berdua, mengenang saat-saat romantisme sebelum anak-anak ada. Ah, sempurnanya..
Setelah menikah, hal-hal tersebut, alhamdulillaah, tetap saya temui. tetapi jujur, lebih banyak yang tidak.
Kesibukan saya dengan tugas-tugas di kampus, misalnya, tak jarang membuat saya pulang dengan energi sisa. Membuat tumpukan cucian dan setrikaan makin menjulang. juga kamar-kamar yang seharusnya disapa sapu.
Pun suami saya, kegiatannya berbisnis membuatnya hampir selalu pulang larut. Lail pun terlewat sudah. Bahkan kadang kami tak sempat berbincang sebelum tidur karena sudah sama-sama kelelahan.
Setelah 'Aqilla hadir, saya merasa jauh lebih buruk lagi sebagai seorang istri.
Tumpuk pekerjaan rumah tangga makin tak tersentuh. Hamdallah, Dzaky bukan tipe lelaki yang pilah-pilih tugas. Pernah saya memergokinya kasak-kusuk di dapur tengah malam. Ternyata, beliau sedang mencuci baju-baju kami.
Bukan cuma masalah pekerjaan rumah, saya pun merasa jadi jarang dandan. Paling tidak berpenampilan rapi. Letih bolak-balik ganti baju karena terkena "buangan"nya 'Aqilla membuat saya malas berapi-rapi di rumah. Kalo dipikir-pikir, kasian sekali Dzaky harus bertahan melihat istrinya yang kuyu saat dia pulang dalam kelelahan selama 3 bulan kemarin, ya. he he he.
Itu baru fisik. Emosi saya juga ikut naik turun sejak awal pernikahan ini.
Sebelum menikah dan banyak mengenal Dzaky, saya berkespektasi bahwa beliau adalah orang yang romantis. Kenapa? karena dulu Dzaky tergabung dalam tim nasyid. hehe, sebenernya ga nyambung sih, cuma kan saya mikirnya kalo nasyid itu kan seni, dan seni berbubungan dengan sensitivitas perasaan. Jadi, insyaalloh yang seneng seni, sensitif pula perasaannya. :p
Nyatanya? tidak. Dzaky tipikal orang yang serius. Saking seriusnya, pernah dia pulang dari Malaysia bawaian saya sekotak cokelat. kotaknya bebentuk hati dengan tulisan: "for the world, you might be someone. But for someone, you might be the world". Belum lagi geer dan senang saya hilang, Dzaky tiba-tiba berucap: "Eh, emang itu kata-kata artinya apa ya? aku main ambil aja yang sesuai budget".
buahahahaha.. lenyap deh geer saya.
Menikah juga bukan tanpa masalah. Dulu memang saya berpikir bahwa pernikahan saya akan mulus bak jalan bebas hambatan. Saya ingin menikah dengan ikhwan, dengan orang yang insyaallah meletakkan ketakukan pada Allah di posisi pertama dalam hatinya. Dengan begitu, dia akan sangat hati-hati sekali dalam berlaku pada istrinya.
Yeah, itu membuat saya lupa bahwa saya menikah dengan manusia.
Dzaky dan Tami pernah berantem? Iya dong. sering malah! hehe
Kok ga pernah kelihatan? di status fb ato blog juga nampaknya seneng-seneng aja? Kan ada aurat-aurat keluarga yang tak boleh dipublish ke publik, kawan.. :)
Pernikahan ini, jujur, benar-benar membuat saya belajar, a lot. sungguh banyak.
Saya bukan tipikal yang bisa menahan-nahan emosi. Saya ini meledak-ledak. Dan buruknya, kalo lagi keselnya kumat, rentetan kebaikan Dzaky tuh kayak kehapus. tinggal yang jelek-jeleknya aja. (Eh, apa ini juga dirasa sama semua perempuan ya? hehe).
Kenapa sih gak kayak gitu? gak kayak gini? huah, pertanyaan retoris batin itu udah sering banget kelintasan di otak dan hati. tanpa sadar, ekspektasi-ekspektasi itu membunuh diri saya sendiri. Alhamdulillaah, Allah masih berkenan menjaga kami saya. Ga lama setelah pikiran saya yang menuntut itu muncul, tiba-tiba ada aja hal-hal yang dilakukan Dzaky yang bikin hati saya trenyuh, lalu berucap "Masyaallah.. I'm marrying the right person.."
Dzaky memang ga banyak bicara. Ga suka debat. itu yang kadang bikin saya kesel.
Saya yang sangat senang bicara, selalu merasa perlu diberi tanggapan. sanggahan. atau bahkan, bantahan.
Lucu.
Saya tiba-tiba teringat pertanyaan awal yang saja ajukan padanya di awal-awal kami menikah dulu,
"Ay, kenapa milih untuk nikah sama aku? Kenapa ga sama A, B, C?" (nama akhwat disamarkan demi kelanggengan rumah tangga. hihi :p)
Dzaky cuma tersenyum. ga menjawab.
Berulang kali saya tanyakan hal yang sama, tetap ga dijawab.
Baru-baru kemarin agaknya beliau keceplosan mengenai hal itu.
Saat seorang sahabat bertandang ke rumah, konsultasi mengenai pemilihan istri.
Dzaky ketika itu berucap, "Yang penting fokus pada kriteria, bro.. satu kriteria aja!"
sahabat kami, yang masih jua bingung itu, lantas bertanya balik, "Nah, kalo ente Dzak, pas mau nikah, kriterianya apa?"
Dzaky terdiam, lalu menoleh pada saya sesaat, "Kalo ane sih jelas.. waktu itu.. kriterianya.. nyari ibu yang penyayang buat anak-anak.."
Doh, rasanya pengen nangis terharu aja deh kala itu. :')
Jujur, pernikahan bukan sebuah cerita fairytale yang nikmat saat dibaca. Ia sulit dilaku. bayangkan saja, kita yang biasanya bersendiri, bebas, dan hanya berkonflik dengan peran-leran pribadi, kini harus berhadapan dengan makhluk baru dengan sejuta pembawaan karakter serta latar belakang yang tidak kita ketahui sama sekali.
pernikahan juga bukan sebuah lukisan tanpa cela yang selalu membawakan warna-warna teduh dalam hidup. terkadang ada ceria yang tidak lama dirimbuni tangis menyesak. Ada tawa yang diikuti tekuk cemberut wajah. Ada kalimat-kalimat kasih, yang pada beberapa kali, justru mengiris-iris hati. Ada cinta membuncah-buncah yang mengalir terkespresi, tetapi jangan kaget ketika juga menemukan marah mendidih-didih yang berusaha rapat disimpan hati. Ada pemakluman. Ada kerling jernih. Ada keluh. Ada berbagi. Ada empati. tetapi tentu yang terpenting: Ada Illahi..
Roar
1 bulan yang lalu
1 komentar:
selalu suka main kesini...
Tami saudariku yang belum kukenal dekat tapi ga tau deh, apa karena saya orangnya suka sok dekat tapi beneran deh kamu itu romantis banget sayang....
banyak belajar dari blog ini, kata2 tanpa pretensi dan murni berbagi, belajar dalam bingkai keimanan, kalian sungguh mendewasakan...
:):):)
semoga berkah Allah terus ada bersama kalian sampai Jannah-Nya, senang lihat kalian berbahagia...sungguh...:):):)
Posting Komentar
Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)