Emang Gampang Jadi Suami?

Haha.. judulnya feminis sekaleee.. *katasuamisayapastinya.

Sebenernya ini terinspirasi dari postnya Bunda Maryam (punten ya Mbak Nuri.. hehe) yang sedikit ngebahas tentang problematika ibu2 kebanyakan (dijamin, saya bakal di tuding tajam sama Dzaky: "Emang iya? Ada datanya?" Aish, naassib jadi istri calon politikus, kerjaannya nanyain dataaa mulu 
-_-'').

Tentang kesetaraan posisi suami dan istri dalam berumah tangga. Menarik bukan? :D

Saya dan Dzaky menikah di usia yang tergolong masih sangat mudah: 19:20. Mungkin karena jiwa muda kali ya, sejauh ini sih saya belum merasakan getir pahitnya masalah kesetaraan kayak gitu. Alhamdulillaah, Dzaky bukan tipe suami "manja" yang ini itu kudu mesti disiapin sama istrinya. Jadi ga ada tuh ceritanya saya grasak grusuk pagi-pagi buat nyiapin satu stel lengkap bajunya untuk pergi kuliah; Dzaky ambil dan (cencunya) pake sendiri.

Sarapan? Gyahahaha.. Dzaky ga dibiasain sarapan sama ortunya dulu.. jadi kalo ga laper-laper amat, beliau langsung aja tuh ngacir ke kampus tanpa makan. Kadang bahkan saya masih tetap tidur saat Dzaky berangkat (tau lah ya.. anak saya hobinya "menegakkan malam" soalnya *pembelaan).

Anter suami sampe pintu depan? ihiyyy.. romantis sekalihh... dulu ya sebelum nikah saya tuh ngebayangin bakal kayak gitu sama suami saya. tiap pagi sebelum suami berangkat kerja, saya anter ke depan terus pake seremonial cipika cipiki dulu. Ehehehe.. ga dinyana, dapet suami pengusaha; ga suka romantis-romantisan pula! Jadilah Dzaky cukup dilepas dengan salim tangan dan dadah dadah sebentar (cipika cipiki nya pindah ke Qilla sekarang, well... *sesenggukan)

Urusan domestik rumah tangga juga, alhamdulillaah, Dzaky mau ikutan ngebantu. Misalnya rumah berantakan nih, walaupun bibirnya ngomelin saya, tapi tangannya tetep bergerak ngebersin. Nah kalo udah kayak gini saya mah cekikikan aja. Biar deh diomelin, yang penting dibantuin! :p

Kalo dipikir-pikir, saya ni jauh buanget dari sosok ideal istri njawani yang lemah lebut adem ayem tentrem nan berfilosofi: suami adalah raja; sosok dimana saya baktikan segenap jiwa raga kepadanya. Hehe, berat bener yak? Duhh, saya bener-bener bukan tipe istri yang kayak gitu.. Ini pasti akibat proses akulturasi mahadahsyat: Jakarta-Depok yang sudah bergabung di diri saya. Hehe, negbela diri deh jadinya :p tapi kan filosofi kayak gitu gak wajib saya ikutin kan ya? asal tetap masih dalam koridor Islam, ya ga masalah toh? *ngebela diri lagi :p


Padahal, Ibu saya pernah tuh negur saya kayak gini,
"Tam, sama suami kok ngomongnya 'kamu' kayak gitu.."


"Memang kenapa, Bun?"


"Nggak sopan itu, manggilnya pake 'Mas' atau 'Aa' atau 'Abi'; jangan kamu-kamu-an gitu ah!"


He he he.. bener-bener ya saya ini ga ada jawa-jawa-nya sama sekali..

***

Nah, sehubungan dengan judul postingan ini, saya tuh lagi inget sama perbincangan sepasang sejoli (aishhh, bahasanya.. ) teman SMA saya waktu masih imut muda dulu. begini kira-kira perbincangannya:

A (oknum cowok) :
"Tuhhh, belajar masak dong, B! yang rajin jadi perempuan.. nanti kalo jadi istri kan, gimana hayo?"

B (oknum cewek) :
*manyun*


Ha ha ha.. terlepas dari realita bahwa mereka belom kawin kawin juga sampe sekarang (sedangkan saya sudah padahal pas mereka pacaran saya mah belum menambatkan hati, huhuyy), kata-kata si oknum A itu (mungkin) mewakili mayoritas pandangan lelaki di bumi zaman ini.

sekali lagi, mungkin loh ya.., laki-laki mikirnya gitu ya.. kalo udah nikah enak ada istri. ada yang ngurusin ini itu.. anak anak kerawat.. rumah beres.. hubungan dengan tetangga pun cihuy.. ada yang nyuci dan nyetrika baju tiap hari.. masakan tersedia segala rupa sepulang ke rumah.. de es be.. de es be..

trust me, seseorang bakal meledak kalo dibebanin bejibun kerjaan kayak gitu. He he he.

Ah, saya jadi inget perkataan seorang kaka kelas di psikologi. begini katanya,
"Bahkan ya, kalo di rumah calon istri tuh ada pembantu; si calon suami tuh wajib nyedian pembantu pula buat istrinya nanti."

dan yang bicara itu adalah seorang lelaki. Jadi ga feminis yeee? :p

Ada yang lebih seru lagi, Dzaky punya temen di deket asrama nya dulu. Seorang ikhwan jamaa' ah tabligh. terlepas dari di harakah mana ia berada ya, tapinya.. si Lelaki ini, kata Dzaky, yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah: mulai dari masak, cuci baju, setrika, beresin rumah.
Istrinya? Kata Dzaky, istrinya cuma bertugas mendidik anak dan melayani suami sebaik-baiknya.. Ho ho ho, Edward Cullen mah lewat kalo udah kayak gini! ;)

So far, saya sih belum tidak merasa terdzalimi dengan posisi suami-istri ini. Semua "perintah" yang Dzaky berikan, dalam kualitas maupun kuantitas, masih tolerable bagi saya. Tapi, muncul pertanyaan di benak saya? Jadinya mesti gimana ya aturannya kalo dalam Islam?

ternyata eh ternyata, mari-mari dibaca (perhatian: buat para lelaki, siapkan mental Anda sejak dini. hihihi)

Istri Bukan Pembantu (saya copas dari sini)


Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.

Dalam format berpikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama Islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Islam telah  mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu.

Istri harus menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, pokoknya semua pekerjaan rumah tangga lainnya. Waktunya akan tersita dengan pekerjaan sebanyak itu. Bahkan, waktu suami pulang, istri sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga hariannya. Tak ada waktu untuk melayani suami dan anak-anaknya.

Lalu, seperti apa sebenarnya peran seorang istri dalam rumah tangganya? Apakah seorang istri memiliki kewajiban untuk melakukan semua pekerjaan itu? Bagaimaan Al-Quran, Sunnah dan para ulama memandang masalah ini? Ataukah ini hanya merupakan kesalahan persepsi bangsa kita saja?

1. Dalil Al-Quran

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian  yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telahmenafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. AnNisa' : 34)

Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istri, bukan kewajiban istri untuk memberi nafkah kepada suaminya. 

Sedangkan yang dimaksud dengan nafkah termasuk makanan minuman, pakaian dan tempat tinggal.

Memberi makan itu merupakan kewajiban suami kepada istri. Dan kalau disebut makanan, artinya bukan bahan mentah melainkan makanan yang siap disantap. Sehingga proses memasaknya bukan menjadi tugas dan tanggung-jawab istri.

Memberi pakaian itu adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut pakaian, artinya adalah pakaian yang bersih, wangi, rapi siap dipakai. Maka kalau baju itu kotor dan bau karena bekas dipakai, mencuci, menjemur dan menyetrikanya tentu menjadi kewajiban suami.

Memberikan tempat tinggal adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut tempat tinggal, artinya rumah dan segala isinya yang siap pakai dalam keadaan baik. Bila ada yang kotor dan berantakan, pada dasarnya membersihkan dan merapikan adalah tugas suami, bukan tugas istri.

2. Dalil Sunnah

Kita temukan contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat tentang kewajiban suami kepada istri.

Ada pun kisah Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu, memang sering kali dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.

Padahal Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.

Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Sa'id bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika dikomplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor. Siad bin Amir beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.

Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri.

3. Pendapat 5 Mazhab Fiqih

Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih para ulama, terutama mazhab-mazhab yang besar dan muktamad, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka umumnya cenderung mengatakan bahwa para wanita tidak wajib melakukan semua pekerjaan pembantu.

Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.

a. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan :

Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan:

Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

b. Mazhab Maliki

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan:

Wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

c. Mazhab As-Syafi'i

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan:

Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

d. Mazhab Hanabilah

Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

e. Mazhab Az-Zhahiri

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.

Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.

4. Pendapat Yang Berbeda

Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. 

Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.

Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.

Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.

Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. 

Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.

Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. 

Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.

Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

5. Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan

Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.

Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.

Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. 

Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam

****

picture taken from here


Nah looohhh!! Emang gampang jadi suami? Hi hi hi.. 
^____^v

btw, believe it or not, pas saya nge-search  gambar dengan keyword "Bapak Rumah Tangga" di google, foto Dzaky KELUAR! Ahahahaha.., Suami saya memang suami idaman dah! :-*

¡Compártelo!

7 komentar:

miimim

oke banget :D

sukaaa dech..
*siapin diri untuk dapet makanan siap santap & dan sandang siap pakai*

eh.. akan tetapi, bagaimana jadinya kalo menikah dgn penggemar Dr. Yusuf Al Qaradawi ?

:D beda lagi pandangannya..

yaa.. begitulah :D

Jayaning Hartami

kalo penggemar Yusuf Qardhawi: berarti kita mesti digajiiiiii!!!

baca lagi deh poin yang pendapat Yusuf Qardhawi! hihihi.. asiknya jadi wanitaa.. :)

Putra

tapi coba liat sunnah rasul ketika beliau mau sarapan. lalu beliau bertanya. Redaksionalnya kira2..

Rasul: Ya Humairah, apakah belum ada sarapan pagi ini?

Aisyah: belum ya Rasulullah.

Raul: Baiklah kalau begitu aku puasa saja hari ini.

Nah, dari hadits tersebut, juga dapat dikatakan, bukankah istri juga punya hak untuk menyiapkan suaminya makan? hayo,,, tapi walaupun begitu, Rasul menjahit pakaiannya sendiri, mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci, memerah susu, dll. saya setuju, kalau istri itu bukan pembantu karna, si suami berkewajiban mengerjakan keperluaanya sendiri. tapi intinya kerja sama,,,

Nesya

boleh3x... intinya dalam membina rumah tangga harus ada ta'awun (tolong menolong) antara suami-istri, kalau mertuaku sih ngomongnya "lebih baik dikerjakan sendiri biar pahalanya buat kamu semua"

tapi kembali lagi ke penjelasan2 di atas, pun suamiku pernah mengatakan "aku pingin setelah nikah ini bisa masak, ngikutin sunah RasuluLlah dalam memberikan nafkah yg sudah siap saji" :)

thx ya bun ilmunya...
boleh copaste ga?

semangat berkarya selalu bundAqilla :)

Nesya (lagi!)

oya, 1 lagi bun, krn qt adala da'i sebelum segala sesuatunya berarti kalau tugas2 rumah tangga kita sudah dialihkan, kita harus mengambil peran lain yg membutuhkan kecakapan seoran muslimah, aku nda bilang kita mesti kerja tp yg penting berkarya (kata suamiku juga :>)
intinya, mewujudkan masyarakat madani sbg peradaban yang layak huni bagi anak-cucu kita (amiin...)
so, let's berdakwah kapan pun di mana pun! ^___^/

Zulfadhli's Family

Hahaha, jadi pengen searching poto Bapak Rumah Tangga. Kitra2 poto Ayahnya Zahia keluar juga kaga yah??

Btw alhamdulillah di usia pernikahan gw & misua yang udah menginjak taun ke-3 kaga pernah tuh ngerasain perasaan begituh. Laki gw nrimo ajah punya bini preman: kaga bisa masak, kaga bisa nycui, kaga bisa ngapa2in dah kecuali melayani suami di ... *sssttt, rahasia!!*.

Tapi akhirnya gw inspa juga loh Jeng. Sekarang alhamdulillah mulai dari masak pecek ayam ampe sphageti, kue basah, cake, ampe cemilan2 ekye dah bisa (kalo mo nyoba rasanya dateng ajah ke Miri yah Say). Nyuci, ngepel, sambil ngurus anak kaya lagi sirkus juga biasa2 ajah. Dan ternyata, ngeliat perubahan gw bikin si Abang semakin bersyukur punya bini kaya gw yang manis dan seksoy ini *plaaaakk!! Ditampol orang sekampung subuh2 udah narsis*

Ya sutra, ekye cabs dul yah Say. Mo namu ke tempat tetangga yang laen neh mumpung Zahia masih kebo

Jayaning Hartami

@Nesya:
tafadhol.. silahkeun.. saya juga copas kok ney. ehehe

@Putra: hee.. ini posting no offense kok, Mas. saya masak buat suami saya. beres2 rumah pula.. tapi suami saya pun setuju dengan posting-an ini.. beliau memang tidak memaksa. jadi masak dan beres2 rumah itu karna memang saya suka! (dan pengen belajar)

@Bunda Zahia: Hey Bun! lama tak jumpaa! iyooo.. saya pun begitu.. tak cakap lah urus2 rumah.. tapi together we can tho?
semangat buun! kalo ikhlas kan syurga balesannya (ehhh, ngarep balesan mah ga ikhlas yak? hihihi)

Posting Komentar

Selamat datang di Keluarga Hanif!
terimakasih yaa sudah berkunjung.. :)

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger