#3.64

Jelang kelulusan, beberapa anak malah makin sering wara wiri di sekolah. Siapa lagi kalau bukan mereka yang dulu aktif jadi pejabat sekolah? Akhir tahun, selalu penuh dengan laporan pertanggungjawaban ini itu. Sudah bukan rezim mereka sih, memang. Tapi membantu adik kelas menyelesaikan amanah mereka dengan baik hingga tuntas, ga ada salahnya juga kan? Ya, hitung-hitung kumpulin pahala supaya bisa lancar lulus UN dan SPMB kelak.

"Kita bagi tugas kalo gitu ya.. Saya bakal pilih masing-masing kalian buat supervisi anak-anak OSIS ngerjain LPJnya," Dhama, Ketua OSIS zaman Rei, membuka rapat hari itu.

Semua angguk-angguk. Cuma segelintir yang serius mencatat.

"Saya bakal kordinasi langsung sama Fajar, sebagai sesama ketua OSIS. Selebihnya BPH inti, supervisi adik-adik yang pegang jabatan kalian sekarang ya."

Rei tersenyum, itu berarti dia akan pegang supervisi untuk jabatan Bendahara Umum. Ia memutar badan menghadap Anggi, wakil bendaharanya. Membuat gesture seakan berkata, "Nggi, kita kerja bareng lagi ya!"

Dhama melanjutkan, "Tapi buat jabatan BPH yang ada wakil, bakal gw pecah ya. Soalnya butuh bantuan banyak untuk komisi bawah."

Beberapa suara "yahhhhh" terdengar di sana-sini. Maklum, kabinet OSIS Dhama memang terkenal strategis dan solid. Untuk mereka yang ada di satu jabatan, chemistry nya kuat. Terkadang suka terbawa sampai OSIS berakhir. 

"Jadi buat sekretaris umum dan bendahara umum, wakil kalian gw delegasi ke bawah ya." Dhama melirik Langit dan Rei, pemilik kedua jabatan. "Jadi Anggi sama Nova, tolong bantu komisi olahraga."

Mata Rei tidak sengaja beradu dengan Langit saat Dhama menunjuk mereka. Cepat-cepat, Rei menunduk. Pura-pura asyik dengan buku catatannya.

"Oh ya, karena tahun ini format LPJnya dirubah sama MPK. Jadi laporan keuangan mesti integrated sama tiap kegiatan OSIS yang diadain," ujar Dhama sembari tangannya menulisi papan tulis hitam di depan kelas.

Rei memicingkan mata, perasaannya mulai tak enak.

Selesai menulis, Dhama kembali menghadap kelas. Tangannya mengibas bekas kapur di sela jari, "Rei, tolong kerja bareng Langit ya?"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Rapat sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Tapi Rei masih disana. Matanya menekuri laporan keuangan OSIS yang baru. Di sebelahnya ada beberapa adik kelas yang juga sibuk mengelompokkan beratus lembar kuitansi.

"Kak Rei, kita gak bareng sama sekum aja kerjanya?" salah seorang adik bertanya.

Rei menengok sedikit. Tidak jauh dari mereka, ada beberapa bangku yang tersusun melingkar. Langit dan beberapa adik kelas duduk disana.

"Nggak perlu bareng kok. Saya bantuin kalian di jurnal pembalik aja ya. Abis itu, kalian kordinasi langsung sama anak-anak sekum. Tinggal nyocokin tanggal acara dan kuitansi aja, kok," ujar Rei cuek. "Nih, jurnal pembalik bulan Januarinya. Kasih ke sana dulu," Rei menyerahkan secarik kertas besar.

Tidak lama pekerjaan mereka selesai. Satu persatu pamit pulang, begitu pun Rei. Harusnya sudah pulang sejak satu jam yang lalu, sesuai janjinya pada Ibu. Tapi Rei tidak enak hati kalau mesti pulang lebih dulu. Bagaimanapun, tugas yang diberikan Dhama untuk mensupervisi adalah amanah.

"Rei?"

Yang disebut namanya, berhenti memasukkan buku ke dalam tas.

"Kenapa harus lewat perantara ngasih jurnal pembaliknya? Gak bisa ya, sekedar ngasih sendiri ke saya?" Langit bertanya datar.

"Gak bisa ya, sekedar saya titip aja jurnal pembaliknya lewat orang?"

"Tapi kamu bisa kasih sendiri ke saya Rei, ya kan?" ada nada yang meninggi.

Rei menahan kesal-tangisnya, "Harus ya?"

"Saya mau kamu yang kasih langsung. Bukan orang lain."

Rei menoleh ke beberapa adik kelas yang masih ada di sekitar mereka. Ekspresi aneh-ingin-tahu yang muncul di wajah mereka. Okey, jadi setelah enam bulan gosip ini mereda, harus muncul lagi di depan adik kelas? Maksud Langit apa sih?!

"Buat saya, itu gak urgent." Rei menarik tasnya, lalu beranjak pergi keluar kelas.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Akhir Maret 2007.

Sudah kedelapan kalinya, telepon genggam Rei berbunyi. Cukup berisik, sampai harus Rei ubah ke profil silent agar seisi rumah tidak bertanya. Jangankan diangkat, ditengok saja Rei enggan. Nomor tak bernama itu sering sekali muncul di hpnya akhir-akhir ini. Tidak bernama memang, tapi memori Rei mencatat rapi siapa nama pemiliknya. Langit. Ya, hari H LPJ OSIS memang makin dekat. Kordinasi mereka seharusnya makin rapat. Tapi berkali Rei berkelit untuk melakukan kontak yang hanya melibatkan mereka berdua. Tidak, Rei tidak percaya hatinya sudah sekuat itu.

Panggilan kesembilan, akhirnya Rei angkat juga.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam. Kenapa baru diangkat sih?"

"Kenapa harus telpon sih?"

"Saya mau ngomongin LPJ, Rei."

"Besok juga rapat, Langit. Ga perlu telpon juga bisa," Rei menjaga agar nada suaranya tetap normal.

"Ini harus diomongin sebelum rapat. Ada kesalahan kuitansi di bulan Juni. Tolong kamu cek lagi di jurnal. Jangan sampe laporan kita salah besok."

"Oh, ya udah. Nanti saya cek."

"........."

"Halo, Langit? Udah kan ya? Saya tutup telponnya kalo gitu ya."

Lama tak terdengar jawab. Rei berusaha keras menjaga hatinya tetap netral.

"Langit? Udah ya, saya tutup dul..."

"Rei?" akhirnya ada sahutan.

"Ya?"

"Kamu, apa kabar?" 

Rei tercekat, situasi seperti ini yang ia hindari. Tidakkah Langit tahu, Rei sudah terbiasa tidak mengkhawatirkan kabarnya? mempertanyakan keadaanya?

"Saya baik, Langit. Dan akan lebih baik kalau tidak kamu telpon lagi."

Kecewa disana, "Kamu benci saya sebegitunya ya, Rei?"

"Langit, gak usah diterusin.."

"Saya cuma ingin tahu kabar kamu," Langit menjeda. "Saya.. rin-du.."

"Langit, kamu gak tahu ya susah payahnya saya melupakan kamu enam bulan ini?" isak Rei mulai tak tertahan. "Saya belajar lupa sama kamu. Belajar menghapus nomor kamu di hp saya. Saya belajar untuk tidak menanyakan kabar kamu. Saya bahkan sampai di titik lupa dengan janji delapan tahun itu. Langit, saya belajar. Dan saat saya sudah ada di keadaan ini, kamu tega menghancurkan semuanya lagi?" 

"Kamu gak ingin saya hubungi lagi?" Langit bertanya, ragu.

"Saya bahkan ga ingin kamu muncul lagi, Langit." 

"Kamu ingin saya pergi?"

Rei bisa merasakan pipinya mulai basah.

"Tolong bantu saya, Langit. Bantu dengan pergi dari hidup saya."

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 








Tentang Kamu

Ya, ini tentang kamu. Kamu yang sedari dulu, gak pernah berubah. Bahkan sampai sekarang pun tidak.
Ini tentang kamu. Yang tidak pernah ku mengerti jalan pikirannya. Setidak mengerti aku saat beberapa tahun lalu, langkahmu mendekat lalu bertanya, "Jadi calon istri saya, ya?" Lihat, bahkan tanya mu pun bukan bentuk tanya. Ah ya, aku memang tidak pernah bisa mengerti utuh apa yang ada di kepalamu.

Tapi ini tentang kamu. Ya, kamu yang sedari dulu paham betul di mana rapuhku. Dimana titik lemahku. Mungkin disini yang salah, saat luka-luka itu kubagi denganmu. Lalu, -alih alih- aku yang sedih, malah empati kamu yang kelewat dalam. Mungkinkah itu alasanmu ketika itu, "Aku ingin jaga kamu dari semua kesakitan itu." Dan tahukah? Kamu gak ingkar janji. Kamu benar-benar menjagaku sampai detik ini.

Tentang kamu. Dan kesabaranmu. Bukankah aku yang lebih sering pergi? Juga yang paling sering berlari? Bahkan tak jarang menolak untuk menoleh ke belakang barang sesaat. Padahal aku tahu persis kamu jatuh. Kaki mu berdarah. Jalan mu terseok. Nggak, aku menolak lihat. menolak ingat. Bahkan seringnya marah ketika dengan semua luka berdebu itu, kamu tetap sampai mengejarku.

Hey kamu, yang namanya tercetak tebal di memori terdalam yang berkali ku kikis sedemikian rupa. Kamu yang gak pernah pergi dan tetap disini. Kamu yang gak bergerak sama sekali. Sudah berapa kali kamu ku angkat untuk kemudian ku jatuhkan kembali? Siklus yang ku kira cukup menyakitkan untuk membuatmu pergi. Tapi tidak, aku selalu gagal. Karena kamu tetap disana, dengan senyum-cengiran yang sama. Tahukah? belum ada yang mampu saingi sabarmu hingga kini.

Kamu, yang sedia merentang tangan seluasnya. "Go get it, Dek..," Bahkan dengan keadaan kamu tahu pasti, mungkin aku gak akan kembali. Tapi yakin mu selalu penuh. Membuatku tenang berlari kemana angin membawa. Untuk kemudian merasakan sengatnya panas mentari dan gigilnya hujan badai. Lalu pulang, dan kamu sedia di sana dengan selimut dan pelukan hangat. Di situ aku tahu pasti, "Kamu akan jadi seseorang untuk dunia-akhirat ku."

Untuk kamu yang menunggu entah berapa tahun. Dan implisitmu sering berkata, "I have died everyday, waiting for you.." Gak jera ya? Walaupun sering ku remehkan caramu memilihku. Gak ada kriteria. Gak ada prasyarat. Keyakinan, begitu katamu ya? Maka terimakasih, Cinta.. karena yakinmu yang membawaku pada keadaan maha membahagiakan saat ini.

Lalu kamu yang sering sekali ku uji coba batas kesabarannya. Berulang. Berulang. Berulang, hingga kini belum ada satupun kalimatmu yang ku kategorikan sebagai amarah. Tahu apa kesimpulan yang ku dapat? Sabarmu memang tak terbatas.

Kamu, lelaki yang ku terima dengan ridha sebagai imam, pemimpin, motivator, sekaligus navigator dunia akhirat-ku. Kamu, lelaki yang ku percaya untuk menjadi Ayah dari anak-anak ku. Kamu, lelaki yang ku sebut namanya dalam doa pagi-malam ku.

Kamu, Lelaki  yang tak pernah ingkar janji. Sepenggal bait yang kau kirim dulu, masih ingat?

I give you my world
I give you my heart
This is the battle we won
Till the day my life is through,
this I promise you..

Ah, Lelaki langit.. kamu gak pernah ingkar janji.. Ini memang pertempuran yang telah dan akan kita menangkan bersama. Untuk semua perjalanan ini: mentari, hujan, dan pelangi. Apa yang lebih indah selain tahu bahwa kamu selalu ada di sana? Menepuk bahuku untuk kemudian berkata, "Sudah cukup, Sayang.." dan memang hanya kamu yang bisa. Cuma kamu.


Lelaki Langit.. aku cinta kamu, sudahkah ku mengatakannya?



Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger