Stasiun Duri

"Kemiskinan itu dirasakan, bukan dibicarakan.."

-Stasiun Duri, selepas ambil data PKL yang (akan) kena gusur-

#3.7

Kamu akan tahu pasti kalau kamu mencintai seseorang ketika menaiki kereta bersamanya, kamu diam-diam berharap rel kereta ini tidak ada ujungnya.

-Tangguh, tentang Rei-

Beda

"Kamu tahu apa bedanya aku dan kamu?" 

"Kamu, berusaha menghapus tentang aku di tiap harimu. Sedang aku, berusaha agar dirimu tak terhapus sedikitpun dari diriku."

-Serial Love in Harvard-


#3.5

Lagit mempercepat langkahnya, pintu gerbang sudah mau ditutup.

Teeeeeet.. Teeeet! 
Ups, syukurlah. Hampir saja sejengkal ia tidak bisa masuk ke dalam sekolah. Langit melanjutkan langkah menuju kelasnya di lantai 2. Sepanjang jalan, mata dan kepalanya sibuk menoleh sana-sini, menjawab sapaan. Maklum aja sih, Langit memang termasuk penggiat organisasi. Cukup dikenal lah.

Langit menaiki tangga. Kakinya hampir mencapai anak tangga terakhir, sampai tiba-tiba satu siluet melewatinya. Berjalan mendahuluinya di tangga, hampir-hampir menabraknya. Langit menoleh ke arah si penyalipnya. Sayang, cuma bisa melihat punggung. Tapi cukup buat Langit untuk mengenalinya,

"Rei? Pakai jilbab sekarang?"


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------

“Kan sudah pernah kubilang padamu: aku tidak bisa mencintaimu dengan sederhana. Aku mencintaimu dengan semua kerumitan itu, pelik yang berkelip pelangi dari tiap rongga...” 
(Helvy Tiana Rosa)


Masalahnya tidak sesederhana ini. Berulang kali aku menjatuhkan cinta, menempel dimana-mana. Jika dulu semua cuma dalam kadar biasa saja, kenapa yang ini beda? kenapa dalam sekali?

Langit masih ingat merah-padamnya wajah gadis itu saat ia tanya. Tidak ada jawaban, Langit sendiri tak berani menebak apa arti merah-padam itu. Bisa jadi suka. Bisa jadi kesal. Oh, jangan-jangan malah benci. Langit cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Mungkin karena hawa kompetitif saja, begitu Langit berusaha membenahi hatinya berhari-hari. Kabarnya, gadis ini banyak sekali yang mengingini. Dari organisasi, dari klub futsal, dari teman sepermainannya. Langit bahkan tau pasti satu sahabat terbaiknya punya rasa yang sama. Langit, dirinya berbenah tapi hatinya tidak. Ia cuma tahu ia harus mengatakannya saat ini. sekarang dan tak bisa ditunda lagi.

Langit ingat. ingat sekali, bagaimana gadis itu menunduk dalam dan jarinya makin erat mengenggam kertas yang entah-apa-isinya. Langit tidak peduli. Tidak pada kertas yang gadis itu genggam. Tidak pada beberapa mata yang mengamati. Tidak juga pada bel masuk yang sudah berbunyi. Semua hanya terlihat berpendar, sampai tahu-tahu kalimat itu sudah meloncat dari tenggorokanya,


"Rei, jadi istri saya ya? 8 tahun lagi?"

Langit tidak tahu, kalimatnya kelak menjadi penentu takdir empat orang di beberapa tahun ke depan...


 









Random



Susah banget buat saya untuk menyukai lagu yang gak ada cerita di baliknya. Jadi biasanya saya suka filmnya atau tokohnya dulu, baru deh suka sama lagunya.

Kayak yang ini nih..

 

Dua

"Ya ampun Dek, kamu bener-bener suka ya hidup naik turun gini. Kayak Roller Coaster.."

Satu. Dua.., aku terkesiap. Antara takut dan nahan ketawa.

"Tapi gak apa juga sih. Aku ngerti kok," Lelaki itu membunyikan tawa khasnya.

Aku tersenyum.
Lelaki itu tersenyum.





Ah iya, tidaklah kita dicipta melainkan untuk bersama. :')

#3

Sudah lama sejak Rei pusing sebegininya. Soalan yang sudah menggelayuti pikirannya berhari-hari, ups berbulan bahkan. Rei mencoba tanya sana sini, alih-alih  dapat jawaban atau kepastian, yang ada perasaanya malah jadi tercecer kemana-mana.


Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Entah kenapa, seperti sebuah siklus, Rei hampir tau pasti bagaimana hatinya bisa jatuh pada seseorang. Mulai dari gombalan kawan SD sampai candaan konyol rekan SMA. Seperti sebuah siklus, pada Rei, hatinya tidak pernah jatuh kemana-mana. Ia biasa menerima ucapan, tawaran, ajakan. Rei terbiasa dipinta. Ketika ada yang mengatakan suka, cinta, atau konsep afeksi lainnya, setelah itulah hati Rei tergerak untuk membalasnya. Seperti siklus tetap yang tak pernah diubah berubah: hati Rei (hanya) akan jatuh pada ia yang memintanya.



Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Perjalanannya baru separuh saat ia, lelaki pertamanya, datang dan menyatakan perasaan. Rei yang saat itu baru belajar mengeja makna cinta sebenarnya, berusaha berpaling. Menolak. Menjauh hingga 127 km jauhnya. Tapi begitulah siklus, Rei sudah terbiasa, hatinya jatuh pada ia yang meminta. 127 km nyatanya terlalu pendek. Rei menyimpan getasnya dalam-dalam. Pada lelaki pertama itu, hatinya jatuh.



Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Sudah menahun Rei menyimpan ceritanya. Keinginannya mengeja cinta dengan benar membuatnya menjauhi segala bentuk hubungan lelaki-perempuan. Ah Rei, ia tidak tahu itu hanyalah defense dari apa yang tumbuh dalam hatinya. Rei tidak sadar, ia sendiri yang memupuk-siramnya setiap hari. setiap hari. Hingga tumbuh tak terkendali.




Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Ada satu getar aneh yang Rei rasakan di tahun keduanya. Ia, lelaki kedua ini datang entah dari galaksi mana. Percakapan yang tadinya berkisar di basa-basi, perlahan meningkat, melebar kemana-mana. Ada tawa, canda, bertukar gelitik, lalu lari.  Rei yang polos, lelaki yang kelewat genuine. Tidak ada yang menyadari bahwa ada perasaan yang menetes satu persatu. Buat Rei, entah buat lelaki itu.




Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Rei tidak tahu apa itu rasanya jatuh cinta. Siklus sudah sekian lama mendarah daging di logika-emosinya. Antara Rei dan lelaki kedua itu, ada yang beda. Rei tidak berani mendefinisikannya sebagai jatuh cinta. Tidak pernah ada pernyataan. Tidak pernah ada tawaran. Lelaki kedua itu tidak pernah memintanya. Rei menelan ludah berkali-kali. Tidak, Rei tidak pernah memberikan hati pada ia yang tidak memintanya.

Tentang dua lelaki ini, Rei selalu tak menentu.

Perasaan tak terdefinisi itu ternyata begitu kuat. Membuat Rei bertanya-mencari sana-sini, meraba, dan menjamah. Sesekali menyelipkannya dalam kalimat tanya saat berbincang. Mencoba menerka tatapan mata, pilihan kata, sampai ucapan sapa. Rei tidak pernah berani menamai perasaannya, walau sadar ada getir yang selalu muncul tiap nama lelaki kedua ini, terlintas di indranya. Menahun Rei berusaha, semua terasa sia. Tak pernah ada ajakan, pernyataan, tawaran. tak pernah ada pinta. Ah, kasihan Rei, tanyanya tidak pernah menemu jawab.


Selama 20 tahun, sudah beberapa kali Rei bersitatap dengan situasi hati seperti ini. Selama ini waktu, seperti ujar para pujangga, selalu bisa mengaburkannya. Hanya saja kali ini tidak. Lebih rumit.

Rei menggigit bibir, merapatkan jaket ke tubuhnya.



Langit dan Tangguh, tentang dua lelaki ini. Rei selalu tak menentu...

#5

Rei tidak tahu, kenapa melewati Kota Tua bisa segini sesaknya.
Lalu pojokan resto A&W di stasiun itu. Tiap jengkal stasiunnya.

Rei tidak tahu kenapa melewati pusat perbelanjaan tadi buat sesaknya menjadi-jadi.

Rei tengadah, musik di earphone yang menempel di telinganya masih berdetak-detak kencang. Rei menyentuh pelan, menaikan volumenya ke titik maksimal. Ada yang jatuh di sudut matanya. Hampir-hampir ia pulang.

Tapi Rei tahu, semua harus selesai dalam 48 jam ke depan.


Kereta datang. Rei naik. Decitan rel yang sudah lama tidak familiar baginya, berbunyi di sepanjang perjalanan. Lagi-lagi Rei tengadah. Ada titik air yang harus segera dihapus sebelum para penumpang memandangnya aneh.

Rei menghela napas, menghadapkan wajahnya ke jendela.

Ada tetesan lain yang turun. 
Tapi kali ini, Rei membiarkannya.

100 KM

"Kapan ya, rapuhmu itu hilang?"

Jangankan kamu, saya sendiri pusing. Konyol ih, sampai sudah lulus bertahun pun saya tetap yang paling fragile diantara kalian semua. Tetap jadi yang lari kesana-kemari gak jelas. Tetap jadi yang gak bisa berkepala dingin buat sekedar duduk dan berpikir.

Tapi, kayak gitu kan bukan Tami banget.

 Kayaknya selamanya saya tetap akan jadi yang paling ciut, yang kabur-kaburan dan berceceran dimana mana. Saya mau tetap jadi yang kalian puk-puk dan semangati. Karena ya itu, saya akan tetap jadi yang paling mudah menangis di antara kalian. Sama sekali gak berubah. huks.

Tapi terimakasih sudah menjadi tempat-tempat perhentian terbaik saya. Saya mulai dari KM1, lalu ke 25 dan 35. Saat pergi saya rapuuuhh sekali. Tapi entah kenapa saya percaya, sepulang menuntaskan 100 KM, saya akan sangat baik-baik saja.

Lalu kamu (kamu) yang sudah jadi KM 50, 60, 75. Saya nggak tahu mesti berucap apa. Terimakasih karena tidak banyak bertanya saya ini kenapa. Terimakasih untuk tidak bertanya keanehan kelakukan saya 48 jam terakhir. Saya mesti menuntaskan 100Km saya, Ah terimakasih sekali untuk tidak mengintervensi.

Butuh 75KM sampai saya sadar bahwa kalian ada. Menampar bahwa yang saya benci bukan ketidakpedulian kalian, tetapi ketakutan saya. Saya takut  hingga ke ubun. Hingga memuai entah kemana. Dan hari ini saya selesaikan ketakutan itu. Karena tidak ada yang bisa mencerabut, selama saya tidak mengizinkannya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali mendengar seseorang bicara hal baik tentang diri saya. Maafkan jika saat itu meledaknya jadi agak berlebihan. Kamu (kamu) paham, kan? 

Sampai di KM 100, yang tadinya saya kira akan ditemukan di perjalanan pulang, ternyata ada di kamu, dan berita itu. Ah iya, gak ada yang kebetulan, semua Allah yang atur. Rasanya campur aduk, sedih-sedu-sedan, harus menutup visitasi ini dengan berita seperti itu. Tapi lagi-lagi Allah yang atur. Dan saat kamu (dan berita itu) teraba indra, saya langsung tahu: Ini KM100 saya.

Lengkap sudah 100KM saya. Pada kamu dan (kamu).


#1

Namanya Rei.

Gadis kecil berkepang dua ini gembira alang kepalang. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Usianya baru lima, harusnya sih masih di TK B, tapi sebulan lalu Rei memprotes Ibunya.

"Bu, Rei bosen di TK. Udah bisa semua."

Ibunya hanya tertawa sambil menggeleng geli. Tadinya menganggap biasa saja ucapan anaknya. Sampai satu hari, mobil keluarga mereka berhenti di perempatan lampu merah, gadis kecilnya tetiba berucap patah-patah,

"T... T.. G.. Pri... Ok. Tg Priok, Bu!"
Ah ya ampun, ternyata Rei sudah bisa membaca! Satu mobil hampir menangis dibuatnya.
Rei cuma tersenyum polos, Ibunya tidak tahu bahwa sepekan belakangan Rei sudah mulai membaca koran.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Namanya Rei.

Hari ini hari pertamanya masuk sekolah. Menemukan SD untuk Rei jadi PR yang sulit buat Ayah Ibunya. Maklum, syarat usia masuk SD mutlak harus 7 tahun. Rei baru lima, di bawa kemana-mana tidak ada SD yang mau menerima. Sampai akhirnya Ayah Ibu menemukan satu SD yang baru berdiri. Masih cari murid, begitu kata Bagian Penerimaan Siswa. Rei dapat izin sekolah, asal harus sudah bisa baca.

Rei tidak pernah bisa lupa hari itu. Ayah Ibu memakaikan baju TK, lalu mengajaknya naik mobil. Rei tidak tahu mau kemana, Ayah Ibu cuma bilang Rei harus membaca di depan banyak orang pagi itu. Sampai di SD, Rei digandeng ke depan kelas. Laki-laki yang katanya Bapak Guru itu memberikan Rei sebuah buku. Rei membaca lantang. Tanpa patah-patah lagi. Rei, usianya 5 tahun 3 bulan, ia masuk sekolah dasar pertamanya.

"Sekolahnya jelek, Bu," begitu bisik Rei pada Ibu. Ibu cuma tertawa. Rei ikut nyengir. Walau toiletnya jelek dan kantinnya kotor, tetap saja, Rei senang sekali bisa sekolah.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Namanya Rei.

Usianya sudah 7 tahun sekarang, sebentar lagi kelas 3 SD. Tidak seperti teman-temannya yang suka membicarakan boyband, Rei masih senang bermain gambar dan boneka. Tapi buat Rei tidak apa, Rei selalu senang sekolah. Oh ya, sekarang Rei sudah pindah sekolah ke SD Swasta. "Sekolah yang lebih bagus, Rei," begitu Ayah bilang. Rei cuma nyengir mengingat tes masuk kemarin yang susah banget. Rei sampai harus membaca dua kali kertas jawabannya, banyak yang nggak yakin soalnya. Ah Rei, susah susah begitu ternyata lulus juga.

Rei senang sekali. Sekolah barunya bagus dan kamar mandinya bersih sekali, nggak seperti SD yang dulu. Rei juga suka dengan loker yang berjejer di depan kelasnya. Di sini memang anak-anak hanya membawa masuk buku sesuai dengan jam pelajaran, sisanya mesti disimpan di loker. Buat Rei, itu asyik! Sebab mukenah dan Al-Quran besar itu bisa ia taruh di loker. "Kalo mesti dibawa-bawa tiap hari kan berat," begitu alasan Rei tiap ditanya Ibu kenapa mukenahnya tidak dibawa pulang.

Sejak masuk SD swasta, Rei harus lebih sering baca buku. Anak-anaknya pintar semua, nggak kayak SD nya yang dulu. Ah ya, di SD pertamanya Rei jadi satu-satunya anak dibawah 6 tahun yang masuk 5 besar. Rei sih nggak ngerti apa itu 5 besar. Rei cuma tahu Ayah Ibu senang sekali saat pembagian rapor, pulangnya Rei dibelikan mainan dokter-dokteran. Di SD yang sekarang, susah sekali. Rei mentok di 10 besar. Walaupun rasanya susah, tetap saja, Rei senang sekali bersekolah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Namanya Rei.

Untuk ketiga kalinya Rei pindah sekolah. Kali ini pindahnya jauuuhhh sekali, ke rumah Mbah Kakung dan Putri. Rei cuma ingat Ibu mengepak baju-baju Rei dan adik-adik, lalu mendorong mereka semua ke dalam mobil. Menyetir sendirian sampai ke rumah Mbah. Belakangan Rei mendengar istilah baru yang belum pernah ia dengar: pisah, cerai, talak. Rei kecil tidak paham, ia cuma tahu Ayah tidak lagi akan pulang ke rumah. Rei sih nggak sedih-sedih amat, soalnya Ayah galak, suka marahin Rei kalau ngajarin bikin PR. Yang buat Rei sedih, SD baru ini hampir-hampir menolaknya karena masalah umur. Rei sudah kelas 3, dikatakan harus turun ke kelas 2. Sedih sekali rasanya. Pulang dari SD, sesiangan Rei menangis di kamarnya. Rei cuma ingin sekolah. sekolah di kelas 3.

Tiga tahun akhirnya habis di SD baru ini (iya, akhirnya Mbah berhasil melobi supaya Rei langsung masuk di kelas 3). Gedungnya lebih jelek dari sekolah pertama Rei, apalagi toiletnya. Tapi Rei nggak peduli, Rei selalu senang pergi sekolah. Karena sudah terbiasa dengan ketatnya SD swasta, di sini Rei melejit sekali. Baru masuk saja, Rei langsung ada di 3 besar. Padahal usianya paling kecil sendiri, kalau main banyakan nggak nyambungnya. Tapi Rei senang, teman dan Ibu Gurunya baik semua. Ada sih satu-dua yang jahat, yang suka meledek Rei tanpa alasan. Tapi tetap saja, Rei kecil senang sekali bersekolah.

SD baru Rei ada 8 angkatan, semua digilir pagi-sore. Rei kebagian pagi, rasanya senang sekali. Sebab Rei suka keluar rumah mellihat matahari yang baru muncul. Rei juga suka bersijingkat di sepanjang jalan sekolah, memerhatikan daun yang masih berembun. Sekolah Rei dekaaaat sekali dengan rumah Mbah, cuma berjarak 8 rumah. Bel masuk dibunyikan pukul 7, tapi Rei kecil (hampir) selalu berangkat pukul 6. Rei senang berlarian ke pelosok kelas sendirian. Atau berjalan pelan di tangga (sekolah Rei punya 4 tangga yang berbeda, soalnya). Seru! Rasanya seperti princess yang hidup di kerajaan. Ah Rei, dunianya memang masih dunia fantasi dan imajinasi, usianya saja baru 8 tahun.

Belakangan, Rei jadi suka bertanya tentang Ayah ke Ibu atau Mbah, kenapa Ayah nggak pernah pulang. Ibu dan Mbah cuma menjawab kalau Ayah pulang ke rumahnya. Alis tebal Rei bertaut, "Rumah Ayah? Rumah Ayah kan disini, sama Rei." Mata Rei berputar, mencoba mengingat, kenakalan apa yang dibuat Rei sampai Ayah nggak mau pulang. Mungkin karena Rei susah sekali kalau ngerjain PR matematika, mungkin juga karena Rei belum jadi juara kelas. Rei kecil, polos sekali, ia jadi makin suka belajar. Rei ingin pintar dan juara, supaya Ayah mau pulang ke rumah. Di tahun terakhir sekolahnya, Rei mendapat nilai tertinggi untuk seluruh angkatan. Rei, usianya baru saja 11 tahun bulan lalu, ia diterima di SMP terbaik di kotanya. Ibu gurunya senang, Rei dapat ucapan selamat dari teman-teman. Ibu dan Mbah juga gembira, berhari-hari Rei dipuji di rumah. Nggak ada yang tahu, malamnya Rei nangis, Ayah nggak datang ke perpisahan SDnya. Padahal Rei dapat piala dan piagam. Tapi Ayah nggak ada di sana. Nggak, Ayah nggak pernah ada disana.




---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Cerita ini harusnya sih nyambung ke #2. Semoga ada mood untuk melanjutkannya. Sudah janji akan menulis (lagi) soalnya ;)

Slight Think

Jacob : "Please, just stay with me, Bella"

Bella   : "I ca-n't, Jake. I just can't. you know from the beginning, it will always about Edward.

Jacob : "But Bells, with me you don't have to change anything. With me, you-just-have-to-be-you

*trus ngotot lah si Bella, ended up dengan jadi nikah sama Edward*

-New Moon-





oh-ya-ampun, sekarang gw paham banget kenapa tiap nonton bagian ini, entah kenapa gw selalu kepingin jitak si Bella.


Rectoverso

aku tidak tahu kenapa aku mencintaimu.
kenapa tidak pernah beritahuku, kalau mencintaimu akan banyak (sekali) rindunya?

-km 75. I'm almost there-

For A Thousand More..

Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave?
How can I love when I'm afraid to fall

But watching you stand alone?
All of my doubt suddenly goes away somehow
(A Thousand Years)


Semoga besok-besok, tidak perlu lagi ada pertanyaan yang menuntut jawaban.



:)

"Cause you never fully dressed, without a smile!"

-Glee 4-

 

My only "Me-Time"

Adalah saat Aqilla (dan Bapaknya) udah tidur :)

Sejujurnya sudah lama sekali saya merindukan yang namanya kesendirian. Saat belum menikah dulu, ada aja masa dalam satu bulan dimana saya blusukan sendiri. Bisa kemana-mana. Mulai dari tempat biasa macem ITC atau masjid kampus, sampai berpayung malam hari, di bawah hujan, muterin setapak jalan kos-an. Sounds sillly, but those things keep me insane. :')

Nah setelah punya anak dan suami, bagaimana sekarang? Nihil! Ha ha ha. Iya lah.. saya ga bisa pergi seenaknya kayak dulu, atau tetiba ngabur pas suasana hati lagu buruk. Lah itu ada bocah kecil yang masih nemplok sama Emaknya kemana-mana, menurut Ngana? 

Yah, akhirnya me-time jadi sesuatu yang langka. Sesuai dengan hukum ekonomi, yang langka itu biasanya jadi mahal. Itu dia yang saya rasain, bisa punya 1-2 jam untuk sendirian itu ternyata priceless ya :') Ah ya, memang ga boleh dilupa masa sendiri ini memang penting buat ibu-ibu kayak saya. Bayangkan kalo ga ada, mungkin saya ga bakal punya tenaga buat hadepin semuanya. huks.

Buat saya, me-time saat ini gak jadi soal lagi mau tentang ngapain atau gimana. Apa yang terlintas di kepala, itu yang bakal saya lakuin. nonton serial grey's anatomy tv lah, baca buku lah (dan yang ini udah jarang banget, huhuhu..), atau sekedar makan mie rebus. Eh iya, nulis blog juga ding. Cuma ya itu, nulis blog memang bikin hati riang, tapi udahannya itu lohhh.. punggung berasa kretek kretek. Kan ngetik ga bisa tiduran kayak nonton tv. Udah mana kalau keasyikan, bisa dua jam itu dihabisin buat cuma blogwalking. Abis itu bocahnya bangun bobok siang, saya nya malah teler beeeraaattt :p

Tapi dari semuanya, menggunakan me-time saya untuk berbincang dengan Allah, selalu jadi yang terbaik :) Jadi Ibu dan istri itu berat. benar-benar berat. Dan posisi ini memang ga seperti tugas kuliah yang bisa kita pause sesaat cuma karena jenuh. Nggak, yang ini nggak bisa. Berbincang denganNya selalu membuat saya punya kekuatan lagi untuk menghadapi hari. Tapi ya itu sedihnya, kadang karena capek, sepertiga malam lebih saya pilih untuk memanjangkan tidur. Akhirnya lebih banyak di waktu dhuha sih curhatnya. Atau ya, curi-curi waktu saat lagi ngga nonton Glee main sama bocah.

Ah iya, sesuatu yang langka memang akhirnya jadi mahal banget ya rasanya.


Sempurna

"Memang ada beberapa orang dalam hidup kita yang baiknya, kisah kita dan dia berhenti di titik sana. Tak berlanjut. Bukan karena bersamanya tak bahagia, tetapi justru agar menjadikannya tetap terjaga sempurna di benak kita.."
 (Ted Mosby dalam satu episode How I Met Your Mother)

Kesempurnaan. Bahkan pada lelaki yang kunikahi pun tak kuberikan pilihan itu. Bersamanya aku bahagia, tapi tentu pernikahan selalu membuka satu persatu cela. Tapi untukmu, ku pilih paksa agar semua berhenti di sana. Untuk tak maju selangkahpun walau tertitip sepotong rindu disana.

Dan tahukah? Kamu terjaga sempurna hingga saat ini. Tak tercela sedikitpun. Setitikpun.

Ya, aku tidak pernah menyelingkuhimu. Aku hanya memilih untuk tidak menikah denganmu.





Perempuan itu berbalik, meninggalkan secarik kertas basah di satu kota. Untuk lelaki itu, ia datang lagi di hari ini, menjemput sepotong hati yang pernah tertinggal, untuk kemudian pergi tanpa menengok kembali.


Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger