Malam ini tentang pendidikan :)


“Kalau anak Anda lemah di Matematika tetapi sangat kuat di Bahasa Inggris, kira-kira les tambahan apa yang akan Anda berikan pada Anak?”
Seluruh ruangan menjawab. Hampir serempak, “Matematikaaaaaa!”
Pembicara kita tersenyum seakan sudah mampu menebak jawaban sebelumnya, “Nah, itu dia kesalahan fatal negeri kita. Anak lemah matematika kuat di bahasa inggris? Berikan ia les tambahan bahasa inggris!”
Pembicara itu, seorang anak cerdas yang berhasil masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Institusi yang tidak main-main sebab peminatnya hampir puluhan ribu. Dari seluruh penjuru negeri. Pembicara itu yang sejak kuliahnya, atau mungkin lama sebelum itu, mampu menyadari apa yang menjadi potensi dasarnya. Alih-alih bernilai tinggi di kampus, ia justru rajin membawakan acara-acara kampus di sana-sini. Dan kini, pembicara itu memiliki sekolah broadcasting sendiri, sedang dirinya masih mendapat banyak order MC (master of ceremony) beromset milyaran. Mungkin nilainya di kampus dulu tak setinggi teman-temannya, tetapi kini potensinya melejit tak henti. Pembicara itu, Helmy Yahya namanya.*
Sekolah yang mematikan
                Ada analogi unik yang diberikan Pak Munif Chatib, Pakar Pendidikan ‘Sekolahnya Manusia’, tentang wajah sekolah negeri ini.
 Alkisah ada sebuah sekolah yang didirikan di tengah hutan rimba, dimana muridnya tentu para penghuni rimba sebangsa elang, kelinci, tupai, ataupun gajah. Di hari ketiga pembukaan, datanglah seorang calon siswa, Elang namanya. Kemampuan terbangnya sungguh mengagumkan, melesat kesana kemari tiada dua. Komite sekolah mengangguk-angguk takjub, diterimalah ia. Elang si anak baru sungguh gembira dapat masuk ke sekolah barunya. Tetapi tak lama, terkagetlah ia melihat jadwal pelajaran yang harus ia ikuti, salah satunya adalah mata pelajaran berenang. Tak pelak, di setiap jam pelajaran renang, elang selalu kewalahan. Sayap lebar nan gagahnya tak dapat ia gunakan untuk mengayuh air. Nilainya? Jangan ditanya, tentu selalu buruk rupa. Ujian Nasional renangnya tak lulus (ah ya, di sekolah ini renang menjadi salah satu pelajaran UN), remedial sedemikian rupa tak membantu. Elang sedih bukan kepalang, malu ia pada teman-temannya yang lulus. Tapi apa yang lebih menyedihkan dari itu? Kemampuan renangnya tak ada, sedang kemampuan terbangnya pun perlahan menghilang...
Itulah sekolah yang mematikan. Ketika gedung-gedung tak bernyawa hanya dijadikan sekedar tempat duduk-dengar-catat. Ketika guru-gurunya pun tak ada gairah mencerdaskan. Ada yang salah dengan pendidikan negeri ini, ketika anak datang dengan harta karunnya masing-masing lalu dicerabut paksa. Kepala-kepala mungil yang penuh antusiasme itu diredam dengan kegiatan duduk-dengar-catat. Kelincahan mereka sering dicela dengan, “Sssst! Ayo jangan berisik, Anak-Anak!” bahkan sampai ada perintah diam yang diperhalus dengan lagu, “Tangan ke samping, duduk yaaang maaaniiissss..!”, padahal ilmu psikologi perkembangan sudah lama mencatat potensi psikomotor anak berkembang jauh sebelum potensi-potensi lainnya. Tapi di sini, di negeri ini, anak-anaknya didorong hanya di ranah kognitif (yang sering disalah artikan dengan kecerdasan). Belum cukup sempit? Kemampuan anak di kerdilkan lagi hingga hanya selembar dua lembar tes. Pun dua atau tiga digit nilai angka di atasnya. Ah ya, Indonesiaku...
Sekolahnya Totto-Chan dan Harry Potter
                Ketika membicarakan pendidikan, entah kenapa memori saya selalu memutar balik pada salah satu buku favorit saya, Totto-Chan: Gadis Kecil di Jendela. Sekolah Totto-Chan sederhana, hanya beberapa gerbong kereta. Di sana tidak ada jadwal pelajaran, perintahnya hanya satu: “Silahkan lakukan apa yang kalian suka!” Maka kelas menjadi hidup: yang hobi menggambar makin giat menyempurna lukisan, si teliti tekun sekali dengan soal-soal rumit matematika, sedang yang berliterasi tinggi bersemangat sekali membuat tulisan. Dalam hatinya, Totto-Chan kecil berkata, “Sekolah ini aneh sekali.. tetapi semua terlihat bahagia..”**, pendapat yang mungkin jarang sekali didengar pada sekolah zaman sekarang, dimana ekspresi bahagia siswa hanya muncul saat bel pulang sekolah, atau bel istirahat. Ah ya, atau satu lagi, saat guru nya tidak bisa masuk kelas..
                Satu lagi model sekolah yang sering saya ingat saat melamun tentang pendidikan Indonesia. Tapi yang ini, berasal dari dunia fiksi, Hogwarts namanya. Sekolah sihir Harry Potter dan kawan-kawannya. Bagi saya, sekolah fiksi ini sungguh menarik dan cerdas. Di Hogwarts, murid-murid diajarkan mantra, ramuan, terbang dengan sapu, serta pertahanan diri terhadap ilmu hitam. Seluruh kemampuan yang diajarkan memang digunakan oleh siswa dalam kehidupan sehari-harinya, maupun kehidupan masa depannya nanti. Mantra-mantra sederhana seperti “Expelliarmus!” yang fungsinya melucuti tongkat sihir lawan duel, terbukti bermanfaat bagi murid-murid sebagai pertahan diri sederhana saat mereka diserang oleh penyihir jahat. Skill of life alias keahlian untuk hidup, ini konsep yang diberikan Hogwarts pada muridnya. Terkadang saya berpikir, “Bukankah sekolah diciptakan agar murid-muridnya mampu bertahan hidup setelah lulus dari sana?”. Tapi sedihnya di negeri ini tidak. Tujuan sekolah adalah nilai dan selembar ijazah. Bergerak dari sana, tak perlu heran ketika remaja usia SMA pun kuliah masih gamang kemana mereka akan melangkah. Bagi mereka, sekolah adalah ijazah. Skill of life? Entah dimana mereka...
Lalu, dimana Kita?
                Bertahun saya berkecimpung di dunia pendidikan, mungkin baru-baru sekarang saya menemukan formula ini (yang mungkin sudah lama ditemukan oleh pakar pendidikan lainnya): Anak akan lebih mudah dan semangat mempelajari sesuatu ketika ia tahu apa manfaat untuk dirinya. Sejatinya memang manusia dicipta sebagai makhluk pembelajar, rasa tahunya akan bangkit pada hal-hal yang menjadi atensinya. Nah, disanalah yang terlupa dalam pendidikan kita. Mata pelajaran dipilah-pilah sedemikian rupa, diatur standar kompetensinya sekian sekian, sampai sakit kepala murid kita dibuatnya. Mengapa? Sebab mereka tak paham apa manfaat itu semua baginya. Mereka hanya tahu, ada materi yang harus dituntaskan dan ada standar nilai yang harus mereka lampaui (kalau mereka tak ingin remedial). Akhirnya murid lelah, guru pun putus asa. Dan drama pendidikan kita kian berulang di siklus yang sama.
Stop Cursing Darkness Better Light More and More Candles (Annies Baswedan)
                Bagaimanapun gelapnya, harus selalu ada orang yang ingat untuk menyalakan lampu. Begitupun dengan sketsa pendidikan negeri ini. Di saat pemerintah masih belum mampu (atau mau) bekerja lebih keras, filosofis, serta taktis dalam memperbaiki pendidikan negeri ini, geliat geliat “Sekolahnya Manusia” mulai tumbuh, subur, dan menjamur. Meski dalam skala kecil, tapi mungkin dari sanalah harapan itu datang. Seperti hukum Tipping Point yang ditemu oleh psikolog populer, Malcolm Gladwell, perubahan-perubahan besar dunia nyatanya dimulai oleh tak lebih dari 10 % populasi!
                Maka teruslah bergerak, mulai saat ini, dari diri sendiri. Bergeraklah, sebab negeri ini butuh harapan...

*cerita tentang Helmy Yahya saya sarikan dari cerita Ibu saya, yang merupakan adik kelas Helmy Yahya saat di STAN
**Ringkasan cerita Totto-Chan disarikan dengan sedikit dramatisasi yang, insyaallah, dalam arti yang positif

Ketika mereka beranjak dewasa...

"Siapa yang sudah tahu tentang aqil baliiigghhh?" tanya saya dan Pak Rivai di siang itu.

Hampir semua anak mengangguk sambil senyum-senyum "aneh"., terutama yang perempuan. Maklum, di kelas saya perbandingan jenis kelaminnya 20:2, ya 20 laki-laki bersama 2 orang perempuan, ;)

akhir-akhir ini, topik aqil baligh lagi "jor-jor"nya saya dan pak rivai bicarakan di kelas. Bukan apa-apa, mereka sudah kelas 5. Beberapa suaranya sudah mulai berubah. dan beberaoa *ehem* udah mulai lirik-lirik lawan jenis, termasuk ngirim 'surat cinta' yang ga pernah sampai ke tangan penerimanya (karena dikuwel-kuwel sama si pengirim, diselipin dibelakang Al-Qur'an, dan ditemukan oleh pak Rivai. hahahaha :D)

Alhamdulillaah, hampir semua anak sudah paham apa yang jadi indikator bahwa mereka udah aqil baligh: mimpi basah buat lelaki, dan hadi untuk para wanita. Pun kewajiban mandi besar setelahnya mereka juga paham-ini yang bikin saya bangga sama anak SAB-. Setelahnya, kami ajak mereka ke pembahasan yang lebih 'berat': masalah hijab.

Berat disini bukan cuma buat anak-anaknya, tapi juga buat saya dan Pak Rivai sebagai gurunya T_T gimana enggak, setelah aqil baligh, mereka ga boleh lagi salim tangan sama saya (untuk yang lelaki) atau Pak Rivai (untuk yang perempuan). bahkan mereka sepakat mulai ga salim tangan sejak pembahasan kami yang pertama, "buat latihan buuu...", gitu alasan mereka.

Saya nya? ga ga ga relaaaaa.. T_T ternyata yang sudah aqil baligh di kelas saya banyak sekaliii.. hampir separuh kelas.. padahal suara mereka belum berubah, muka mereka masih imut, tingkahnya apalagi. Dan saya udah ga bisa kunyel-kunyel mereka lagi hiks hiks :'(

di SAB itu, hubungan guru dan murid dekat sekali.. seperti orang tua dan anak. ga jarang mereka minta pangku atau nahan tangan saya lama-lama pas salim sambil gerakin bola matanya dengan jenaka. Kadangpun minta bantuan pegangan saat outbond. Oh, I will miss that moment.. dan ini rasanya mellow beneraaaann.. :"(

Lagi-lagi saya belajar, betapa waktu berjalan cepat. dan selamanya anak akan tumbuh tanpa bisa kita hentikan. pertanyaan yang bisa ditelunjukkan adalah, 'Sudah menyiapkan apa untuk mereka?' Ya.. saat aqil baligh sudah dilewati, merekalah penanggung tunggal atas semua perbuatan mereka, 'amal baik dan buruknya. Sedang mereka masih imut sekaliii, dan lucuuu, dan jenakaaa.. Aih, mellow lagi deh..

Ada rasa khawatir yang besar, saat anak-anak-dengan-hafalan-4-juz-ini harus masuk ke masa remaja nya. Anak-anakku yang baik, yang sopan, yang ga pernah mau deketan sama lawan jenis, yang tau harus geser duduk kalo Rifda dan Qinthara masuk kelas, yang selalu nyeplos, 'Bu, di Islam kan ga ada pacaran kan ya bu? ya kan? ya kan?' sampai celetukan 'cerdas' seorang Aldika saat Pak Rivai menjelaskan kategori mahram, "Pak Rivai, berarti kalau aku mau nikah sama Bu Tami, boleh dong?"

cerdas-cerdasku, anak-anakku.. :')

Keep growing up ya, Nak.. tumbuhlah jadi pribadi semurni saat ini. Saat canda kalian adalah permainan seru antar sesama. Saat bertengkar kalian hanyalah satu dua hari saja.

Ibu sayang kalian. selalu. :")


post ini didedikasikan khusus untuk mereka yang ngaku sudah baligh (atopun yang masih ragu-ragu, hehehe..): Arul, Naufal, Gilang, Aldika, Najat, dan Nezar. keep on shining, my boys!

Card Reader ku, ohh dimana dimanaaa?

Dear card reader, dimanakah dirimuuu?
tanganku sudah gatal mau aplot foto anak anak kuh di SAB..

foto waktu mereka outbond, dan kami berhujan-hujan di bukit cigadung.
foto waktu back to school programme, saat rame-rame nangkep ikan di kolam. ketawa-ketawa dan kejebur :D
foto waktu ikut workshop business project..
atau pas kita outing ke Saung Angklung Udjo dan *ahem* Trans Studio Bandung, hahahaha *teu boga gaya eta mah*

Aaaahhh, ga seru kalo cerita tentang SAB ga pake fotoooo.. ntar dikira cerita ini cuma HOAX doang, wkwkwkw...


Ah ya, sekarang saya lagi off ngajar. Anak-anak murid pada bikin bioskop kelas soalnya. Kelas hari ini ditutup kain hitam super lueeebaaaarrr, ada laptop, in focus, popcorn, dan minuman ringan. Semuanya cuma Rp5000,00 per sekali nonton. Filmnya ada Tin Tin Adventure dan Alvin & The Chipmunk 3. :)

Peminatnya banyak euy.. sekali putaran aja udah dapet Rp175.000,00. dan yang penting anak-anak syeenaaangg.. semuanya serius dan kompak, mulai dari bikin publikasi, tiket masuk, sampai nyiapin cemilan buat para penonton. dan ini ide mereka sendiri lohhhh (jangan bilang hoax ya meskipun ga ada fotonya! :D). Jadi, tiap hari jumat di sd5 memang hari wirus alias wirausaha. Biasanya mereka cuma dagang sendiri-sendiri. tapi kali ini mereka minta beda: bikin bioskop. Ternyata seruuuuu.. :D

Ya sudahlah sekian dulu, mudah-mudahan posting selanjutnya udah bisa masukin foto. Mau nyari sponsor yang mau ngasih card reader duyuuu... *tengoktajamketimmarketingsekolah*

Adios Amigos! :D

Sarjana Psikologi UI (cuma) jadi Guru (doang) ?

Sinih, mana yang ngomong?! biar saya satronin rumahnya tiap malem! :D

Sesungguhnya, kalimat negatif itu yang sering beterbangan di kepala saya beberapa bulan lalu. Saat saya mulai berniat mencari kerja di Bandung. ngelamar sana sini, ga ada respon. bela-belain ikut job fair (yang katanya gede-gedean, padahal jauh lebih sepi dibanding PSAF jaman kuliah dulu, hahaha) ternyata lowongan buat s1 psikologi di bandung minim pisaaaan.. banyakan di jakarta. ngga banget lah, masa' iya musti LDR lagi? kan ga kuat :p

Pernah sekali saya dapet panggilan wawancara buat jadi observer tetap sebuah preschool swasa tajir di daerah Setiabudi. selesai sesi wawancara, dua interviewer saya (kepsek dan ketua yayasan) nampak sangat girang. apalagi setelah tau saya lumayan bisa komunikasi bahasa inggris, pasif dan aktif (maklum, disana anak ekspatriat kebanyakan..). Di akhir sesi, kepsek nya bilang, "Okay, Ms. Tami. We'll call you for the next step of this recruitment which is teaching at the class" dan si Mrs. Kepseknya ini ngomong juga yang bikin gw kegeeran "Tenang aja Ms. Tami. ini cuma formalitas kok. kami hanya mau lihat bagaimana kedekatan Ms. dengan anak-anak. After all, we are glad to found you here.." Ahem. Udah ngepul gilak kesenengan di kepala gw. yakin aja bakal keterima.

Ternyata oh ternyata, 3 hari ga ada lagi telpon dari sekolah itu. Setelah saya konfirm kesana, tiba-tiba aja disebutkan bahwa mereka udah dapet observernya. dan saya dinyatakan ga lolos dalam seleksi rekrutmen. Bahkan tanpa saya belum melewati proses class teaching itu. Idiiihh.. sa-kit, kakaaaa :D

Trauma ditolak (atau kelewat sombong ya, jadi sakit hati bener pas ditolak. hahaha), saya sempet pundung. ga mau ngirim-ngirim lamaran lagi. Dan sempet aja kepikiran buka Daycare sederhana di rumah sendiri. Serius deh, udah sampe dibikin plan keuangannya bahkan sama Dzaky. Tapi, ternyata oh ternyata lagi.. terbentur masalah Dzaky yang belum lulus kuliah. Kesian nanti kalo tiap pulang kuliah, kepalanya cenat cenut ngeliat banyak bocah beterbangan d sekeliling rumah. hihihi.

Jadi, kembali ke plan C. Apa tuh? Cari kerja! :D Nah, qadarullah, saya kenal dengan pemilik Sekolah Alam Bandung. si teteh ini selalu semangat lah tiap cerita tentang SAB. saya pun tertarik, karna memang sekolah itu yang kami jadikan opsi pertama buat sekolah bocah nanti. Singkatnya, dengan banyak dorongan Dzaky (jadi guru tuh enak Dhek, ga full time. deket rumah lagi, kamu ngesot juga sampe.. zzzzz...), melamarlah saya ke sana. Setelah melalui wawancara, tes baca Qur'an, dan tes hafalan Qur'an, diterimalah saya disana (dan sampai saat ini), sebagai guru kontrak.

How does it feel? Pada awalnya, it feels s*ck. Walau sejujurnya seru sekali melihat anak-anak disana benar-benar belajar. Tetapi ego saya masih tinggi. Otak saya terus denial, "Yah Tam, masa' s1 psikologi cuma jadi guru doang? UI pula?" Jiyeeee, sombyoong pisaaaann.. saya kepikiran temen-temen satu angkatan di kuliah dulu yang *ahem* IPKnya lebih kecil dari saya, tapi sekarang udah dapet kerja dengan digit gaji diatas angka 2,5 juta. Gaji saya? *uhuk uhuk uhuk* Yahh, pokoknya mah masih lebih gede angpao nya Qilaqila tiap pulang daru rumah Yang Kongnya, wkwkwkw.. Ohmeeen, bahkan jadi guru di Indonesia Mengajar itu lebih keren dari kerjaan gw sekarangg.. hahahaha, sebut gw sombong, but that was really happened to me few months ago.

Sampai suatu ba'da maghrib, tetiba aja 'Aqilla maksa bongkar-bongkar kontainer yang isinya buku-buku zaman kuliah dulu. Nah, disana ada 1 notebook tebal yang biasa dijadiin tulisan random saya. Ada sih catetan kuliahnya, tapi banyakan tulisan ga jelasnya. hahaha.. untung jaman dulu belom gape sama twitter, kalo udah bisa galau di publik sayanyah :D

Oke, kembali ke si buku.
Nah, 'Aqilla maksa buka buku itu soalnya dia mau "Iiikhaaaaaa..", alias minta digambarin ikan ;) jadilah saya buka-buka nyari halaman yang kosong buat di gambar. Qadarullah, jari saya berhenti di satu halaman yang penuh tulisan pensil (dan kayaknya ditulis dengan buru-buru saay bosen dengerin ceramah di kelas, hahaha). Judulnya; 100 fakta tentang Jayaning Hartami (dan kata Dzaky, sumpah ini judulnya alay banget. Bae weh.. :D)

Saya ketawa-ketawa sendiri baca poin-poinnya (dan yaaaak, ikan nya 'Aqilla pun ga jadi digambar. anaknya udah nemu buku lain yang lebih menarik soalnya). sampai ke poin 47. saya tercekat.
47. Saya ingin sekali menjadi guru di pedalaman. mengajar anak-anak di tengah hutan. saling belajar melalui kearifan alam..

saat itu juga mata saya kabur. ada air mata yang turun tanpa bisa dijeda.
Allah memang yang paling tahu bagaimana cara menyemangati hambaNya..

saya malu. maluuu sekali. saya keluhkan takdirNya hari ini. saya lupakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah pengabulanNya atas do'a saya bertahun-tahun yang lalu.

dan saat itu juga, semua kebaikan yang saya peroleh selama menjadi guru di SAB berputar di kepala saya.
tentang senyum anak-anak di pagi hari..
tentang teriakan riang saat mereka berebut mencebur diri ke kolam..
tentang rekan-rekan guru yang sangat sangat sangat baiiik sekali..
tentang kebebasan pakaian saat mengajar (saya hampir selalu pakai kerudung instan, rok jeans, dan sandal gunung)
tentang ritual buka-tutup kelas yang bikin saya melongo karna anak2 sd 5 ini hafalannya udah nyampe juz 27..
tentang talaqqi guru tiap pagi..
tentang hafalan juz 30 saya yang akhirnya berhasil ditamatkan sempurna hanya dalam waktu 2 bulan! padahal sebelumnya 5 tahun berusaha saya hafal tapi selalu "timbul-tenggelam"
tentang bagaimana cara membuat anak tertarik untuk belajar.. mengajak mereka bermain tanpa mereka sadar bahwa mereka tengah 'diajari'..

There it is. Saya bahagia sekali menjadi pengajar di Sekolah Alam Bandung. Alhamdulillaah.. :)

 

Setelah hiatus sekian lamanya...

Kangen nge bloogggg!! :D

Sesungguhnya setelah posting blog terakhir disini dipublish, ada banyaaakkk sekali kejadian seru yang meluap luap di kepala, menunggu buat ditulis. Tertentunya setelah jadi Pengajar Muda (iya dong, kan gw masih muda! hihi) di Sekolah Alam Bandung, wallahi, makin banyak yang pingin ditulis.. Hanya saja apa daya, modem pasca bayar semakin memberatkan kantong susah dapet sinyal. Plus working load di SAB yang ajegile beratnyeeee.. baiklah, mari kita hiatu dulu. :)

Setelah sedikit "merengek" pada Pak Suami, siang ini saya resmi dibelikan modem internet untuk pertama kalinya (soalnya modem yang lama masih bawaan pas masih "bujangwati", hehehe). Alhamdulillaah, mari kita nge blog lagi. ;)

Jadi, Apa kabar dunia? semoga tetap menyenangkan untuk semua. Semenyenangkan sore ini, dimana anak kecil lincah sudah tidur, Abhiwa nya pergi keluar untuk urusan bisnis, dan saya sedang izin ga masuk karena maag kambuh. Ala kulli hal, selalu ada kesyukuran yang dapat dihirup di segala atmosfer bukan?

Sekian posting blog-setelah-sekian-lama-hiatus-ini. Saya mau nyari card reader dulu. tangan udah gatel banget mau posting berbagai foto 'Aqilla dan "kakak-kakak"nya di Sekolah Alam.

See u soon, :)

Search

 

Followers

Rumah Bahagia ^__^ Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger